Memang memalukan kondisi umat beragama di Indonesia. Saya menemukan banyak kejanggalan dalam diri agamawan popular di Indonesia, dari mulai ustad dengan retorika cabul, retorika humoris, retorika banci dan retorika duka alias air mata alias baper.
Saya jadi sedih lagi ketika mengingat video ustad YM, karena saya tidak bisa ikut menangis padahal saya sudah mengulang hampir 5 kali menonton video seorang ustad yang seakan mengambil peran sengsara dalam sebuah serial film telenovela.
Tapi air mata saya pun tak kunjung menderai. Saya mengingat hadis Nabi “kerasnya air mata karena kerasnya hati dan kerasnya hati karena banyaknya dosa”
Sejauh ini saya menyimpulkan bahwa saya masi terlalu banyak dosa sehingga tak bisa ikut menemani ustad menangis. Setelah saya tobat nanti saya akan coba lagi menonton video ustad dengan harapan bisa ikut sama-sama meratapi sesuatu yang sebetulnya tidak perlu ditanggapi sebaper itu.
Alhamdulillah, dengan peristiwa beberapa hari lalu kita jadi bisa belajar mengenal “realitas” dan “claim”. Realitas artinya kenyataan yang sejati dan claim artinya hanya sebuah label tanpa arti.
Video yang hanya beberapa menit mampu membuat hati terenyuh dan ikut merasakan kesedihannya (hati siapa saya tidak tau)
Ustad YM mengatakan “jangan melotot-melotot kepada ulama'” hal ini menjadikan saya bertanya-tanya “mengapa sampai harus direspon sedemikian rupa?”, sedangkan arti “ulama'” sesuai makna yang kita dapat pada pendekatan hadis, “ulama'” berarti “warosah al-anbiyaa'” yang artinya adalah penerus para nabi.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah tendensi yang mengarah kepada kondisi para nabi juga, di mana mereka (para nabi Allah) mengambill sisi-sisi sulit dalam kehidupan ini. Lebih memilih jalan derita ketimbang jalan yang nyaman.
Mengapa begitu? Karena menjadi “ulama'” bukanlah menjadi orang yang diclaim “ulama'”, menjadi ulama’ adalah menjadi orang yang memilih untuk hidup dengan tidak bersandar pada opini relatifitas. Tidak lagi sibuk dengan partikular objek, artinya sudah tidak lagi direpotkan dengan hal-hal sepele.
Jika kita membayangkan sejenak, pada masa-masa dakwah nabi Muhammad SAW, beliau bukan hanya diplototi oleh para musuh-musuh islam, Nabi mencetak rekor sebagai mahluk paling menderita di muka bumi ini. Tapi sekalipun baginda nabi tak pernah mengeluh. Apalagi memamerkan pilu dengan penuh harap di hadapan umatnya.
Dari sini masyarakat Indonesia harus banyak memanen hikmah, harus lebih cerdas memilih figur, apalagi figur relijiusitas. Figur yang menanggung beban penghambaan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Peristiwa itu juga menjadi pelajaran untuk semua ustad/ulama’, harus lebih hati-hati dalam menyebarkan gagasan melalui video yang dishare ke dunia digital, perhatikan mimik wajah, kalimat, back sound dan brightness kamera, karena itu semua menjadi pertimbangan publik dan dinilai secara detail.
Jangan sampai apa yang telah dilakukan justru menjadi boomerang untuk sebuah pillar yang berusaha dijaga kehormatannya di mata publik.
Sebagai titik awal dari sebuah perenungan, sebagai upaya untuk memaknai kehidupan beragama, janganlah mempersoalkan komentar beberapa orang terhadap sebuah cara pandang mengenai teks kitab suci karena pada dasarnya itu bukanlah hal yang membahayakan reputasi Islam.
Yang membahayakan reputasi Islam adalah ketika manusia-manusia pandir berjubah ulama’ menampakkan agresifitas dan ambisiusitas dalam ranah yang memiliki saluran menuju politik, provokasi, intoleransi, ekstrimisme dan seluruh nilai-nilai yang mengancam kedaulatan umat manusia.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa banyak manusia mendapatkan klaim “ulama'” tanpa kepatuhan kepada kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Tuhan dianggap krisis saldo cinta sehingga manusia dibiarkan untuk saling bunuh agar mendapatkan Cinta Tuhan.
Ulama’ harus menjadi pemandu keragaman agar tak tampak perilaku saling tuding kesesatan dan pengkafiran hanya karena kebenaran sebuah ajaran tertunda sampai hadirnya akhirat.
Ini juga perlu dipahami, bahwa menjadi Ulama’ (dalam pemahaman yang dikonsumsi oleh kebanyakan orang) tidak sesulit menjadi manusia. Tapi untuk menjadi “waroosah al-anbiyaa'” kita perlu menjadi manusia terlebih dahulu.
Peradaban dibangun oleh manusia-manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Sudah tidak lagi meributkan perbedaaan keyakinan. Peradaban dibangun berdasarkan kepedulian jangka panjang, bukan klaim tentang “kebenaran” jangka pendek. Peradaban dibangun oleh kekuatan universalia yang melekat pada setiap manusia, bukan dari kehendak untuk menguasai pandangan orang lain.
Kita harus lebih fokus terhadap apa yang seharusnya kita persembahkan untuk masa depan bangsa ketimbang sibuk membenci sesuatu yang cepat atau lambat akan mati.
Pelajari nilai-nilai kebaikan yang penting untuk jiwa kita. Jangan hanya sibuk mengkoleksi kebencian sebagai modal masuk surga.
(Perang-Dingin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar