Amerika Serikat Selalu Gagal di Pusaran Konflik Timur Tengah

Pasukan Amerika adalah unit yang menjadi langganan untuk dikirim ke wilayah konflik di Timur Tengah

Keterlibatan militer Amerika Serikat di Timur Tengah sejak peristiwa robohnya gedung World Trade Center di Kota New York pada 11 September 2011 bisa dibilang gagal total. Manuver militer Negeri Paman Sam itu di Timur Tengah justru menciptakan bencana tak berkesudahan bagi rakyat di kawasan itu dan kini di tahun yang baru rasanya tipis harapan melihat ada perubahan berarti.

Bahkan boleh jadi kondisi tahun ini justru memburuk meski Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menggelar pertemuan di Wina, Austria bulan ini guna menyerukan gencatan senjata sementara di Suriah dan memulai pembicaraan soal pemerintahan Damaskus yang baru.

Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran sepekan terakhir serta koalisi militer negara Islam Sunni melawan terorisme bisa menambah daftar panjang konflik di kawasan yang tak pernah berhenti bergejolak ini.

Kegagalan Amerika sebetulnya sudah terlihat di Afganistan. Pasukan pemberontak militan Taliban kini masih merongrong militer Afganistan.

Menurut Surat kabar the New York Times, kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kini mulai tumbuh dan Al Qaidah, yang jadi alasan Presiden George W. Bush menyerang Afganistan pada Oktpber 2001, kini bangkit dari tidur panjang.

“Di saat pemerintahan Obama memerangi ISIS dan pemberontak Taliban, musuh lama bersemi kembali: kamp-kamp pelatihan militer Al Qaidah muncul lagi di Afganistan. Hal itu membuat Pentagon dan intelijen Amerika harus mewaspadai terbitnya perlawanan baru melawan Amerika,” tulis The New York Times, seperti dikutip original.antiwar.com, tiga hari lalu.

Perang Amerika di Afganistan sudah berlangsung 14 tahun empat bulan dan tampaknya akan lebih lama lagi. Financial Times menyebut rakyat pembayar pajak di Amerika harus mengongkosi biaya perang yang kini sudah mencapai USD 1 triliun dan angka itu akan terus bertambah.

Satu-satunya kemenangan bagi Amerika di Afganistan adalah industri persenjataan.


Amerika terjebak di Irak

Di Irak, perang Amerika sudah berlangsung selama 13 tahun sejak Maret 2003, tidak termasuk ketika Agustus 2014 Obama memulai kampanye perang melawan ISIS.

Meski kota penting Ramadi sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan Irak yang dibantu serangan udara Amerika pada bulan lalu, banyak sumber mengatakan ISIS baru bisa dikalahkan melalui perang darat.

Jika tekanan politik menghambat Obama untuk mengerahkan pasukan darat melawan ISIS tahun ini maka kemungkinan pengganti Obama nanti akan melakukannya di 2017.

Perang melawan ISIS di Irak ini akan makin sengit di 2016. ISIS adalah kelompok militan Islam berdasarkan doktrin fundamentalis Wahabi yang didukung oleh Kerajaan Arab Saudi.

ISIS selama ini memerangi kaum Islam syiah.

Para jihadis yang mengusung fundamentalis kaum Wahabi atau Salafi ini membenci Syiah.
ISIS selama ini bercokol di dua negara yang pemerintahannya dikuasai Syiah: Irak dan Suriah.

Amerika menggulingkan Saddam Hussein, rezim Arab dan Partai Ba’athnya untuk kemudian memberi kesempatan Irak menjalankan pemilihan umum yang kemudian dipimpin oleh pemerintahan Syiah.

Lagi-lagi Amerika terjebak dalam posisi rumit di Irak.


Turki berjabat erat dengan Saudi

Pemerintah Irak (Syiah) menolak permintaan izin dari Turki yang akan mengirimkan tentaranya buat memerangi ISIS di Mosul.

Presiden Turki Recep Tayyp Erdogan, seorang Sunni, sebelumnya mengerahkan pasukan dan persenjataan militer ke sebelah barat laut Irak pada bulan lalu buat memerangi ISIS.

Uniknya, Liga Arab yang biasanya mendukung negara Sunni, justru menyokong posisi Irak. Hal itu kemungkinan karena mereka tidak ingin negara Turki yang non-Arab menguasai wilayah dan pengaruh di kawasan.

Harap diingat, wilayah Arab zaman dahulu dikuasai oleh Kerajaan Ottoman Turki hingga Perang Dunia Pertama. Jurnalis dan mantan diplomat India M.K.

Bhadrakumar akhir bulan lalu menulis: Presiden Erdogan pada 27 Desember melawat ke Riyadh untuk bertemu dengan Raja Salman. Koran Arab Ashraq Al-Awst melaporkan, kedua pemimpin negara memutuskan menjalin kerja sama untuk memperkuat hubungan strategis dan kepentingan kedua negara, demi tercapainya keamanan dan stabilitas di kawasan.

Namun sesungguhnya kemesraan Turki dan Saudi dilandasi kesamaan kepentingan.

Akademisi Rusia Yevgeniy Satanovsky, kepala Institut studi Timur Tengah di Moskow, memperingatkan, Turki dan Saudi bisa jadi mempererat kerja sama selama ini dalam menyokong kelompok Islam radikal secara diam-diam di Kaukasus Utara yang menjadi duri bagi Rusia.

Amerika maju kena mundur kena di Suriah Setelah berjalan lima tahun, konflik Suriah telah menelan sedikitnya 200 ribu jiwa. kelompok pemberontak macam ISIS, Barisan Al-Nusra yang merupakan cabang Al Qaidah, serta kelompok jihadis lainnya berusaha menggulingkan rezim Basyar al-Assad.

Keterlibatan Rusia sejak September lalu membuat peta kekuatan berubah di Suriah.

Amerika, Saudi, dan negara Arab Sunni yang sebenarnya menganut paham Wahabi ini menghendaki pergantian rezim Assad yang Sunni di Suriah.

Bersama negara sekutunya, Arab Saudi, Turki, pemerintah Obama mendukung kelompok pemberontak secara politik, keuangan, dan persenjataan untuk menjatuhkan Assad.

Sementara di sisi lain Iran, Rusia, dan Irak menghendaki sebaliknya. Amerika ingin memutus hubungan mesra negara Sunni Suriah dengan Iran dan Rusia lewat pergantian kepemimpinan. Krisis di Timur Tengah tahun ini tampaknya masih akan memanas.

(Merdeka/Satu-Islam/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Kamis, 14 Januari 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Amerika Serikat Selalu Gagal di Pusaran Konflik Timur Tengah. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/01/amerika-serikat-selalu-gagal-di-pusaran.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS