Mengenali Hoax dan Mewaspadai Provokasi Demi Merawat Kebhinnekaan


Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat kita lihat terpampang jelas pada lambang negara Garuda Pancasila, yakni pada pita di bagian kakinya. Menurut sejarah, peletakan semboyan tersebut pada kaki burung Garuda, merupakan gagasan dari Presiden RI pertama, Soekarno.

Semboyan ini pun diakui telah mengakar kuat dalam jiwa masyarakat Indonesia, jauh sebelum Negara ini terbentuk. Artinya, bukan sekadar kalimat biasa, semboyan ini dinilai memiliki arti penting bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Dalam kemajemukan itulah, Bhineka Tunggal Ika memainkan peranannya sebagai semboyan pemersatu.

Kalimat semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali dimuat dalam sebuah karya berjudul Kekawin Purusadasanta (Kitab Sutasoma), yang ditulis oleh Mpu Tantular tujuh abad silam, yakni pada zaman kerajaan Majapahit. Kalimat tersebut sebenarnya dibuat Mpu Tantular untuk menyatukan perbedaan yang ada dalam dua agama besar saat itu, yakni Buddha dan Hindu.

Adapun bunyi lengkap Bhinneka Tunggal Ika, seperti yang termuat dalam kitab tersebut adalah sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mengrwa.

Artinya: bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah-belah, tetapi satu jua, artinya tidak ada dharma yang mendua.

Mohammad Yamin merupakan tokoh yang pertama kali mengusulkan agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diadopsi menjadi semboyan Negara. Usul ini diterima oleh Soekarno dan ikut menjadi pembahasan dalam rapat BPUPKI. Akhirnya, semuanya sepakat untuk menjadikan kalimat ini sebagai semboyan bangsa Indonesia bersama-sama dengan burung Garuda yang ditetapkan sebagai lambang negara Indonesia.

Lantas, apa arti dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Kalimat Bhinneka Tunggal Ika terdiri dari tiga suka kata, yakni Bhinneka, Tunggal, dan Ika. Dalam ungkapan Jawa Kuno, masing-masing kata tersebut memiliki arti; “Bhinneka” berarti “beragam”, “Tunggal” berarti “satu”, dan “Ika” berarti “itu”.

Sekarang ini, gabungan dari semua kata tersebut umum diartikan sebagai “Berbeda-beda tapi tetap satu jua”.

Bagi bangsa Indonesia, kalimat ini merupakan kalimat pengikat atau pemersatu. Kalimat tersebut mempunyai makna agar masyarakat utuh dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang bersatu tidak mudah terpecah-belah serta kokoh dalam menghadapi ancaman apapun, baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam.

Dengan spirit semacam itu, sebagai bangsa majemuk yang sudah bertekad untuk hidup bersama, sudah semestinya kita bahu membahu saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Sebab, dalam sejarah perjalanannya, bangsa ini mampu berdiri karena peran berbagai elemen atau kelompok yang ada. Maka, kita memiliki kewajiban bersama untuk terus merawat kebhinnekaan.

Namun sayang bahwa pada kenyataannya, suara-suara provokatif yang mendorong eksklusivisme kelompok masih terus terdengar, terlebih di dunia maya. Suara-suara bernuansa diskriminasi yang kemudian memantik prasangka dan kebencian pada kelompok lain, sehingga menjadikan kita menjadi manusia-manusia pembenci, pemarah, penuh prasangka, dan tak lagi ramah pada perbedaan.

Jika dicermati, hal-hal tersebut sering kali bermula dari adanya kabar atau berita yang memang sejak awal sudah tak beres. Portal-portal berita yang tak jelas kredibilitasnya ini bertebaran di media sosial, sebab terus dibagikan dari satu akun ke akun lainnya, terus dikomentari, sebelum akhirnya menjadi pemicu pertikaian dan saling hujat antar sesama. Orang kemudian mudah menyebarkan dan mengomentarinya. Bahkan tak jarang, orang sudah terbakar emosi hanya dengan melihat judul berita tanpa membaca konten atau isinya terlebih dahulu, kemudian dengan gegabah menyebarkannya di media sosial.

Media sosial pada dasarnya bisa bernilai manfaat ketika digunakan untuk saling mengenal, untuk merekatkan tali silaturrahmi dengan orang lain. Namun, sekarang, kita bisa merasakan bagaimana media sosial cenderung terasa panas dan pengap. Hampir setiap hari, timeline gaduh karena postingan bernada sindiran dan kebencian, yang kemudian memunculkan pertikaian dengan sesama. Dalam konteks merawat kebhinnekaan bangsa, apa yang terjadi di media sosial merupakan hal yang mengkhawatirkan. Kabar-kabar provokatif terus menggerus ikatan kerukunan. Isu-isu bernuansa kebencian terus ditebarkan dan seakan memperdalam jurang perbedaan di antara kita.

Akibatnya, kita tak melihat indahnya perbedaan dari sikap saling menghargai. Kita tak melihat harmonisnya hubungan dengan sikap saling mengasihi. Sebaliknya, kita melihat perbedaan yang justru memunculkan kegelisahan. Perbedaan yang dipakai untuk menciptakan kebencian dengan saudara sendiri. Perbedaan yang dieksploitasi dan diruncingkan untuk membenarkan diri atau kelompok dan menyudutkan yang lain. Pada titik inilah, yang lebih kita butuhkan saat ini adalah kesadaran berpikir jernih. Kita perlu mengesampingkan emosi, mengedepankan akal sehat dan kejernihan hati agar bisa bersikap lebih bijak.

Ketika suatu persoalan telah meruncing sehingga seakan-akan membuat persaudaraan dengan sesama menjadi retak, saat itu juga kita harus kembali sadar dengan semboyan dan cita-cita bangsa kita; hidup damai dalam pebedaan. Dari sana kita bisa menyadari bahwa sikap saling membenci, saling menyalahkan, saling menyudutkan, dan berbagai bentuk permusuhan lain tak akan membawa kita ke mana-mana kecuali kepada jurang keterpecahan. Di samping kesadaran tersebut, perlu juga bagi kita untuk lebih bijak lagi menyikapi berbagai berita atau isu yang bertebaran di media sosial. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan dalam menilai suatu berita. Paling tidak, hal ini akan menghindarkan kita dari provokasi dan berbagai bentuk kebencian hanya karena membaca suatu kabar.

Saat melihat suatu kabar atau berita di media sosial, pertama, kita bisa mencermati judul beritanya. Kebanyakan, berita provokatif menggunakan judul yang bombastis untuk menarik perhatian pembaca. Di samping itu, judul biasanya sudah memiliki unsur menilai, bahkan penghakiman. Misalnya, “Hebat! Ribuan orang….”,“Gawat! Pendukung…”,“Luar biasa! Inilah…”, dsb.

Jadi, berita model ini tak menyuguhkan informasi sebagaimana adanya, namun sudah memasukkan unsur penilaian dari pembuat berita. Jika ditinjau dari kaidah jurnalistik, hal ini sudah jelas melenceng dari ciri-ciri berita yang baik dan benar karena telah mencampur-adukkan antara fakta dan opini.

Kedua, kita perlu melakukan pelacakan berita. Maksudnya, ketika melihat suatu berita di media sosial, kita bisa membuka portal tersebut kemudian melacak berita-berita lainnya. Dari sana, kita bisa menilai arah provokasi media tersebut. Sebuah media yang dibuat untuk mencitrakan sosok atau kelompok A misalnya, cenderung akan terus memproduksi berita yang mengagung-agungkan sosok atau kelompok A. Suatu media yang dibuat untuk merusak citra sosok atau kelompok B, akan terus membuat berita yang memojokkan sosok atau kelompok B. Mereka memanfaatkan fanatisme pada tokoh, kelompok, atau golongan untuk mengeruk keuntungan.

Di samping itu, seringkali materi provokasi menjurus pada SARA. Kita tahu, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan mudah memicu pertikaian dalam tubuh bangsa kita. Kecenderungan-kecenderungan ini bisa kita cermati dan harus diwaspadai agar kita tak mudah termakan hasutan media-media provokatif. Sebab, jika dicermati, fenomena saling hujat di media sosial seringkali bermula dari provokasi media dalam hal-hal tersebut. Ketidakberimbangan dalam mengabarkan pada akhirnya menghasilkan berita kontroversial–sehingga memancing pengguna media sosial untuk membacanya.

Ketiga, melakukan kroscek dan membandingkan antara berita dari media satu dengan media lain. Dari sana, setidaknya kita tidak terjebak pada satu sudut pandang, bisa memandang sesuatu secara lebih komprehensif. Perbandingan ini juga memungkinkan kita untuk bisa mengetahui kebenaran kabar itu sendiri. Sebab, perbandingan akan memperlihatkan mana media yang lebih imbang dan konprehensif dalam mengabarkan dan mana media yang hanya mengabarkan sepotong-sepotong informasi dan lebih banyak unsur provokasinya ketimbang informasinya.

Pada akhirnya, sikap kita dalam menyikapi kabar-kabar di media sosial menggambarkan sejauh mana kita bisa bersikap bijak di tengah persoalan bangsa belakangan ini. Sebab media sosial seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. Sebagai bangsa Indonesia, sudah semestinya kita menjadi bagian dari orang-orang yang selalu menyuarakan perdamaian dan terus merawat kebhinnekaan, bukan orang yang mudah terpancing emosi dan memperkeruh suasana.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Selasa, 29 November 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Mengenali Hoax dan Mewaspadai Provokasi Demi Merawat Kebhinnekaan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/11/mengenali-hoax-dan-mewaspadai-provokasi.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS