Tips Hindari Jerat Status Penyebar Hoax Akibat Langgar UU ITE


Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 27 Oktober 2016 lalu.

Berdasar UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 73, suatu RUU disahkan melalui tanda tangan Presiden paling lambat 30 hari setelah disetujui DPR dan Presiden. Maka kini, pada 28 November 2016, atau 30 hari setelah DPR menyetujui hasil RUU tersebut, maka RUU itu mulai berlaku sebagai UU.

“Persetujuan DPR dengan Pemerintah untuk RUU ITE sudah dilakukan pada 27 Oktober, 30 harinya berarti hari ini harus sudah dinomori di Sekretariat Negara,” kata kata Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RUU ITE, Henry Subiakto melalui pesan singkat, Senin (28/11/2016).

Dengan berlakunya UU ITE hasil revisi ini, tepatnya sejak 28 November 2016, tentu ada konsekuensi hukum yang mengikat para aktivis media online dan penggiat media sosial jika terbukti melakukan pelanggaran.

Terkait hal tersebut, Kasubdit IT & Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Himawan Bayu Aji memberikan tips kepada netizen agar tidak mudah menjadi penyebar berita palsu atau hoax.

Agar tidak menjadi salah satu pelaku dari penyebaran berita-berita hoax, Himawan mengingatkan para pengguna media sosial agar lebih bijak dalam menyebarkan informasi yang diterimanya.

“Kalau dapat berita, tolong dianalisa dulu apakah informasi tersebut benar atau tidak. Cek juga sumbernya, apakah dari media online yang valid atau bukan,” ujar Himawan.

Kalau pun berita tersebut memang benar, baiknya dipikirkan dahulu apakah informasi itu memang layak untuk dibagikan. Kalau hanya akan menimbulkan sesuatu yang negatif, lebih baik ditinggalkan saja.

“Harus hati-hati dalam menyebarkan sebuah berita. Kalau ternyata itu berita bohong, si penyebar berita bisa kena pidana. Think before click or share,” katanya mengingatkan.

Berita palsu, fitnah, dan provokasi tak pelak lagi telah membanjiri media sosial (medsos). Tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat terutama dalam pemilihan presiden yang baru saja berlalu.

Misalnya, “Teroris menyumbang 20% dana kampanye Clinton” atau “Obama menyuruh imigran ilegal untuk ikut memberikan suara.”

Supaya tidak panas, tak usahlah kita sebut contoh berita palsu dan provokatif di kalangan pengguna medsos di Indonesia.

Mari kita pahami bahwa memerangi penyebaran berita-berita palsu itu sangat penting, tapi juga sekaligus tugas yang sulit.

Solusi yang paling nyata –yaitu fact checking atau verifikasi kebenaran oleh media yang kredibel –tetap tidak efektif. Kenapa? Karena para ‘konsumen’ berita-berita palsu itu pada dasarnya sudah curiga pada media mainstream, dan setiap statistik atau bukti yang berbeda dengan keyakinan mereka akan tetap dianggap penipuan dan partisan.

Tambahan pula, semakin banyak berita palsu itu dibahas dan diverifikasi, nilai sosialnya malah makin bertambah.

Untuk mencegah penyebaran berita abal-abal, kita perlu lebih dulu memahami kenapa banyak orang suka membagikan berita-berita palsu.

Pertama, pada dasarnya orang memang bersikap partisan atau berpihak ke kubu tertentu. Setiap orang menyukai dan kemungkinan besar akan membagikan berita yang cocok dengan keyakinan mereka sekarang, dan berita-berita yang palsu seringkali lebih berpihak ke mereka. Tentu, orang juga membagikan berita sahih kalau itu memang sesuai dengan pandangan mereka. Mungkin kita berpikir, kalau memang sama-sama sesuai dengan pandangannya, tentu berita yang kredibel lebih disukai daripada berita palsu. Namun faktanya, berita palsu lebih cepat beredar di dunia maya, dan jangkauannya sering melampaui berita sahih media kredibel, karena itu yang palsu lebih disukai.

Kedua, kita juga harus paham tujuan dari seseorang membagikan berita. Di abad media sosial dengan kehadiran Facebook dan Twitter, berita disebarkan bukan hanya untuk memberi informasi atau membujuk seseorang. Penyebaran berita juga dimaksudkan sebagai penanda identitas, atau cara mengumumkan orang itu berada di komunitas yang mana.

Suka tidak suka, sebagai manusia kita punya kecenderungan fundamental untuk memisahkan diri dalam kelompok-kelompok. Kita bersatu dengan kelompok sendiri, dan menjaga jarak dengan yang lain. Di dunia nyata, kita menunjukkan identitas sosial dengan baju yang kita pakai atau makanan yang kita makan. Namun di dunia informasi online, penanda yang sifatnya materi ini tidak terlalu penting. Berita yang kita unggah menjadi cara yang lebih ampuh untuk mengumumkan identitas kita.

Orang mengumumkan afiliasinya dengan mengunggah link artikel yang mencerminkan keyakinan dan selera kelompoknya. Berita-berita sahih juga bisa memenuhi fungsi ini, namun untuk lebih mempertegas penanda identitas sosial mereka, berita palsu bisa lebih ampuh.

Dengan mengunggah berita yang sesuai dengan pandangan komunitasnya — entah berita palsu atau sahih — bisa mempererat ikatan orang itu dengan kelompoknya. Bahkan meskipun berita itu palsu, intinya adalah dia masih sejalan dengan kelompoknya.

Yang terpenting antara berita palsu vs berita sahih ini adalah bagaimana memancing respons orang lain. Jika beritanya kredibel, orang di luar kelompok Anda atau outsider mungkin tetap tidak setuju, namun unggahan seperti ini tidak akan menjatuhkan reputasi Anda, hanya menjadi bahan debat dan diskusi.

Namun kalau berita yang Anda unggah palsu, lebih besar kemungkinannya orang di luar kelompok menjadi geram. Jika Anda tetap ngotot, mereka bisa menyebut Anda bodoh dan pembohong. Jadi kalau seseorang ingin membuktikan kesetiannya kepada kelompok dia, respons orang luar yang penuh amarah ini justru memperkuat loyalitasnya. Maka orang itu akan lebih suka menyebarkan berita palsu agar kelompoknya lebih yakin pada dia. Dengan menunjukkan kalau dia bersedia mengorbankan reputasinya di depan outsider, dia membuktikan komitmennya.

Sebagai tambahan, semakin dia terlibat konflik dengan outsider, semakin kuat ikatannya dengan kelompok dia sendiri. Status orang itu akan makin meningkat di mata kelompoknya kalau dia mengunggah berita yang sangat kontroversial, khususnya ketika tensi sedang memuncak.

Dengan memahami dinamika ini, kita bisa tahu bahwa solusi fact checking malah bisa kontra-produktif. Kalau berita yang diyakini benar oleh satu komunitas kemudian terbukti palsu oleh kelompok lain, yang ada hanyalah perdebatan sengit dan makin menunjukkan bahwa dua kelompok itu memang berbeda keyakinan.

Kalau alasan menyebarkan berita di medsos adalah untuk menunjukkan identitas sosial seseorang, maka membasmi berita palsu ini menjadi tugas yang sangat sulit. Berita palsu membuktikan komitmen si pengunggah terhadap kelompoknya, dengan menunjukkan bahwa dia rela mengorbankan hubungannya dengan orang-orang di luar kelompoknya.

Setelah kita paham akar masalah ini, barulah kita bisa membahas cara yang lebih produktif dalam menghadapi unggahan berita-berita palsu oleh orang-orang yang kita kenal dan menjadi kawan di media sosial.

Pertama: jangan terpancing oleh umpan para pengunggah berita-berita provokatif ini. Istilah populernya: “Don’t feed the trolls.” Ini adagium baku yang harus Anda ikuti.

Kalau seseorang mengunggah berita palsu dan menurut Anda dia memang tidak tahu, tentu Anda bisa mengingatkan dengan memberi sumber berita yang lebih kredibel. Tapi tolong lakukan dengan cara yang baik, karena tak seorangpun suka dipermalukan di depan umum. Seringkali cara yang lebih baik adalah dengan mengirim pesan pribadi atau PM (private message).

Namun kalau menurut Anda unggahan berita palsu itu hanya untuk mengumumkan identitas sosialnya, abaikan saja. Jangan membantu meningkatkan nilainya dengan membantah. Kalau Anda memang benar-benar harus mengatakan sesuatu, PM adalah cara terbaik, karena Anda bisa menyampaikan pesan tanpa membuat publik tahu adanya selisih pendapat yang hanya akan memperkuat statusnya.

Kedua: Anda sendiri harus membantu mempromosikan budaya yang mengagungkan kebenaran. Cek dulu sumber berita yang Anda pakai sebelum diunggah ke medsos. Dukunglah suratkabar dan media lain yang pemberitaannya memang bagus dan bisa diandalkan. Ingatkan teman-teman atau anggota kelompok Anda sendiri kalau menyebarkan berita bagus mengenai kelompok Anda namun terbukti tidak benar.

Ketiga: hargailah humor. Seperti halnya berita palsu, guyonan dan satir atau sindiran juga sering dipakai sebagai penanda identitas – sangat lucu bagi para anggota kelompok namun seringkali menyakitkan dan menyinggung bagi outsider. Humor dan satir yang dipakai mungkin berselera rendah atau memecah belah, namun dia bukanlah serangan terhadap kebenaran. Jadi santai saja, kalau perlu ikutlah tertawa.

Informasi bisa mempersatukan sekaligus memisahkan orang. Menyebarkan informasi palsu atau berita abal-abal sifatnya memisahkan diri. Ini soal menyerukan teritori yang terpisah dengan aturan dan logika mereka sendiri.

Menyebarkan berita yang kredibel adalah kebalikannya. Ini soal mempersatukan orang-orang, bukan hanya menghimpun mereka yang setuju, namun juga membujuk mereka yang tidak. Berita kredibel menjadi dasar kesepakatan bersama.

Agar bisa mengikis daya tarik berita-berita palsu ini, kita perlu menghargai debat dan diskusi. Kita perlu menghargai upaya untuk menjangkau keluar menuju komunitas-komunitas lain, berdiskusi dan berdebat. Bukan membangun sekat, namun untuk menjalin hubungan.

Disarikan dari opini Judith Donath di CNN, 20 November 2016

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Selasa, 29 November 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Tips Hindari Jerat Status Penyebar Hoax Akibat Langgar UU ITE. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/11/tips-hindari-jerat-status-penyebar-hoax.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS