Menyambung postingan “Beranikah kita seperti Iran ?”, seorang teman bertanya, “Menurut abang kita berani gak ?” Ini pertanyaan simple, tetapi jawabannya kudu panjang supaya kita bisa memetakan masalah.
Iran menempuh perjalanan panjang dalam cengkeraman sistem kerajaan atau monarkhi. Rakyat Iran yang aslinya relijius harus melihat kemerosotan moral yang dahsyat ketika sistem itu hanya memperkaya keluarga kerajaan dan kroninya. Iran perlahan menjadi “Amerika” dalam segala sisi termasuk budaya mereka. Kekayaan alam mereka disedot habis2an.
Seks bebas, narkoba dan segala macam kejahatan membelenggu mereka dibalik gemerlapnya kota. Yah, bayangkan sajalah kita pada masa Soeharto. Penangkapan, penculikan, penganiayaan terjadi dimana2. Ulama2nya-pun banyak yang bajingan dan penjilat, karena mereka dibeli oleh kerajaan.
Akhirnya, sesudah perjalanan panjang dgn segala macam tekanan dan pembunuhan, dipimpin oleh ulama besar Ayatollah Khomeini yang sedang diasingkan, rakyat Iran bergerak dan mengkudeta Syah Reza Pahlevi di tahun 1979. Dan berdirilah Republik Islam Iran.
Republik Islam dengan sistem wilayatul faqih atau supremasi para ulama ini tidak dihadirkan secara paksa, tetapi melalui referendum. Hasilnya, 98% lebih rakyat Iran mendukung.
Apakah selesai ? Belum.
Sesudah Iran berdiri sendiri, AS yg dulu berkuasa di sana melalui Syah tidak senang. Mereka menggunakan tangan Saddam Husein utk menyerang Iran dan terjadilah perang 8 tahun Irak – Iran. Dan Iran menang.
Selesai ? Belum lagi.
Karena AS kalah mulu kayak Tom dikadali Jerry, mereka pun meng-embargo Iran selama 30 tahun. Uangnya Iran di luar negeri dibekukan. Secara ekonomi Iran terpuruk, tapi secara mental mereka terasah.
Terasahnya mental mereka karena peranan besar pemimpinnya. Ulama2 yang menjadi pemimpin mereka hidup sangat sederhana. Kalau anda pernah melihat bagaimana Ahmadinejad – salah satu Presiden Iran – hidup dengan sederhana, ulamanya lebih gila lagi sederhananya. Kesederhanaan itu menimbulkan rasa hormat yang mendalam sehingga rakyat Iran begitu mencintai pemimpin2 mereka.
Dari sana kita bisa mengambil pelajaran berharga, bahwa keberanian itu harus ditempa, dibangun, diasah.
Bagaimana dengan Indonesia ? Bisakah kita seberani bangsa Iran untuk merdeka ?
Kalau ngomong berani, pasti bilang berani karena siapa sih yang mau dibilang penakut ? Masalahnya, kita siap atau tidak ? Seperti kata teman, jangankan di embargo, bensin ditarik 300 perak per liter aja ribut kayak onta di remason pantatnya.
Tapi memang Indonesia bukan Iran. Cara bertarungnya beda. Kalau Iran bertarung dengan konsep full body contact, Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi ini pakai gaya tai-chi master. Perlawanannya ebih lembut dan memutar dan banyak memanfaatkan tenaga lawan.
Ia paham, kalau dibenturkan langsung dengan Amerika, mental kita belum siap dan hasilnya bukan merdeka tapi keruntuhan. Ia memainkan orkestranya dengan gaya Jawa bukan Persia. Era-nya pun berbeda.
Jadi kalau pak Amien Rais teriak2 “Jokowi harus punya nyali untuk rebut Freeport !” Jangan dipercaya. Wong, yang teriak itu aja ga punya nyali untuk jalan kaki Jogja – Jakarta memenuhi nazarnya. Nyali tanpa perhitungan, konyol namanya. Semua ada caranya.
Iran satu waktu akan salut dengan Indonesia, karena Indonesia akan merdeka dengan gayanya sendiri. Sekarang sudah bukan zaman bambu runcing, tapi otak runcing melawan mulut runcing.
Indonesia memang bukan Iran. Disini secangkir kopi pun adalah senjata untuk melawan.
(Denny-Siregar/Mahdi-News/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar