Membuka pembicaraannya, Jalaludin Rahmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang juga Anggota DPR RI dalam acara “Diskursus Pemuda Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) DKI Jakarta di Kantor Pusat PBNU, Jakarta Pusat (21/1) memaparkan alasan ISIS tidak bisa berkembang dengan baik di Indonesia walaupun Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dia menjelaskan sebabnya adalah adanya Nahdlatul Ulama.
Tingkatan Intoleransi
Jalaludin yang biasa disapa Kang Jalal ini menjelaskan bahwa tingkatan awal seseorang menjadi intoleran, yaitu jika dia sudah terlibat dalam gerakan stigmatisasi. Memberikan semua sifat-sifat buruk kepada kelompok-kelompok tertentu sehingga akan segera dilabeli sebagai orang-orang sesat.
“Mereka mengusahakan dan membangun narasi untuk menjelek-jelekkan kelompok agama tertentu,” terang Kang Jalal.
Tingkatan berikutnya adalah melakukan diskriminasi kepada kelompok agama tertentu, seperti diskriminasi yang terjadi terhadap kelompok Muslim Syiah yang dapat disaksikan di masyarakat luas.
“Orang Syiah banyak mengalami diskriminasi baik terselubung maupun terang-terangan,” ujar Kang Jalal.
Tingkatan selanjutnya adalah melakukan kriminalisasi dan menganggapnya sebagai seorang penjahat yang layak untuk diadili dan dimasukkan ke dalam penjara. Tingkatan terakhir adalah melakukan persekusi, melakukan pengejaran yang puncaknya adalah melakukan pemusnahan kelompok agama tertentu.
“Anda dapat cek, pada tingkatan intoleransi yang mana Anda berada?” tanya Kang Jalal. “Kalau tidak ada di situ, maka Anda harus bersyukur,” lanjutnya.
Tingkatan Toleransi
Selain menjelaskan tentang tingkatan intoleransi, kang Jalal juga menjelaskan tentang tingkatan toleransi. Pertama dan yang paling rendah adalah toleransi itu sendiri, yaitu dengan menerima keberadaan kelompok tertentu yang berbeda.
Kemudian tingkatan selanjutnya adalah mencoba untuk memahami agama atau kelompok lain. Tapi hal tersebut dilakukan bukan untuk menghakimi namun berusaha untuk lebih mengenal dan memahami agama lain atau kelompok lain yang berbeda.
“Misalnya Saudara tidak perlu belajar Syiah untuk menghakimi Syiah,” ujar Kang Jalal.
Tingkatan selanjutnya setelah saling memahami, maka akan terjadi dialog dengan jujur sehingga akan masuk pada tingkatan saling menghargai agama atau kelompok lain yang berbeda.
Tingkatan teratas adalah ketika bisa menikmati perbedaan itu dan meramunya menjadi jalinan kehidupan sosial yang harmonis dalam masyarakat sehingga akan tercipta kehidupan yang damai walaupun tersusun dari berbagai macam agama, kelompok dan kepercayaan yang berbeda-beda.
(ABI-Press/Mahdi-News/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar