Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran tidak hanya mengancam stabilitas regional Timur Tengah. Sengketa diplomatik kedua negara itu juga mempersulit posisi Amerika Serikat (AS) yang sedang berusaha menyelesaikan konflik di kawasan dan membasmi kelompok milisi Negara Islam (IS).
“Apa yang Anda miliki adalah konflik yang telah bertahan sekian lama memusingkan kepala, dan sekarang Anda melihatnya berkobar. Tantangan di sini yang bukan hanya untuk AS, tapi untuk seluruh dunia, adalah bahwa konflik tidak akan selesai,” kata Analis Senior Keamanan Nasional Juan Zarate.
Setelah Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama Syiah terkemuka, pengunjuk rasa menyerbu kedutaan Saudi Arabia di Teheran. Tak lama setelah itu, Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Uni Emirat Arab (UEA) yang menjadi sekutu Arab Saudi, juga menurunkan hubungan diplomatik, dan protes yang sama juga terjadi di Turki dan Bahrain.
Menurut Zarate, hubungan Iran dan Arab Saudi makin memburuk setelah memutuskan hubungan diplomatik di tengah ketegangan sektarian Wahabi-Syiah yang direduksi menjadi ketegangan Sunni-Syiah.
Bahkan jika dapat melampaui ketegangan diplomatik, kedua negara pada dasarnya masih “berperang satu sama lain. Arab Saudi merupakan kekuatan Wahabi dominan di wilayah tersebut, sedangkan Iran merupakan pusat kekuatan Syiah. Kedua negara sudah terlibat dalam perang laten syaraf di negara Yaman dan Suriah.
Tapi keretakan hubungan antara Riyadh dan Teheran mulai mengancam kemampuan AS untuk mengelola konflik bergejolak lain di wilayah Timur Tengah.
Ketegangan juga menjelar ke Bahrain, tempat mayoritas Syiah yang balas mendesak penguasa yang berpaham Wahabi.
(Satu-Islam/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar