Konflik antara Iran-Irak belakangan ini menghangat kembali, bahkan Saddam Husein telah mengirimkan ribuan pasukannya ke perbatasan kedua negara tersebut. Banyak kalangan meramalkan, Perang Iran-Irak yang pernah berlangsung selama 8 tahun, bisa pecah lagi.
Tapi tidak demikian halnya dengan dosen Lemhanas Jakarta, Dr. Tarmizi Taher. Ia meramalkan, baik Iran maupun Irak masing-masing akan mempertahankan diri 5 sampai 10 tahun lagi untuk menyusun kekuatan. Kalaupun kedua pihak belakangan terlihat melakukan penyerangan, itu hanya sekadar manuver saja.
Perang Iran-Irak yang berlangsung cukup lama kata Tarmizi Taher, telah melumpuhkan perekonomian kedua negara tersebut. Apalagi Irak, yang mengalami kekalahan pada Perang Teluk baru-baru ini, tentunya memiliki dampak yang cukup besar terhadap perekonomian negaranya. “Makanya saya melihat, kedua negara perlu menyusun kekuatan lebih lama,” ujar Tarmizi di ruang kerjanya kepada Terbit, Media dan PR kemarin.
Menurut Tarmizi, Iran belakangan ini merupakan musuh Amerika yang paling tangguh dalam skup regional, selain Syria. Karena seperti diketahui, “Agama Syi’ah” yang mayoritas dipeluk rakyat Iran, memiliki semangat anti Barat yang paling tinggi.
Selain itu, Iran juga pasukannya cukup berpengalaman dalam peperangan, seperti yang dibuktikan saat melawan Irak. Disamping hasil minyak yang cukup banyak, Iran juga memiliki jumlah penduduk yang cukup besar di mana mencapai sekitar 42 juta orang. “Apalagi kita tahu, banyak pesawat Irak yang ditawan Iran saat berlangsungnya Perang Teluk. Ini tentunya menambah kekuatan Iran, yang perlu diperhitungkan Amerika,” ujar dosen ilmu strategi Lemhanas yang juga Sekjen Departemen Agama ini.
Untuk itu, katanya lagi, ketika konflik Iran-Irak menghangat lagi belakangan ini, Amerika memiliki kepentingan di balik peristiwa tersebut, di mana saat konflik kedua negara itu menghangat, Amerika langsung bilang, Irak tidak lagi melanggar peraturan. “ Ini jelas Amerika menghangatkan situasi dan tak ingin melihat Iran bangkit dengan kekuasaannya,” ujarnya menegaskan.
Sementara Irak, bagi Amerika dinilai sudah tak memiliki kekuatan, meskipun tak diabaikan sama sekali. Yang jelas, kekuatan Iran lebih diperhitungkan, ujarnya pintas.
Sebenarnya, kata Tarmizi lagi, Iran bukan saja merupakan ancaman bagi Amerika, tapi juga bagi negara-negara Timur-Tengah lainnya, karena semangat revolusi Islamnya. Dengan demikian sudah barang tentu negara Timur-Tengah lainnya khawatir revolusi seperti di Iran itu bisa merembes ke negaranya.
Tentunya kondisi itu mengancam kedudukan sultan, raja maupun emir. Makanya saat terjadinya perang Iran-Irak, negara-negara Arab seperti Qatar, Kuwait, Bahrain, Emirat Arab, dan sebagainya, memihak kepada Irak. “Bagaimana seandainya perang Iran-Irak meletus lagi?” tanya Terbit.
“Sikap negara-negara Arab sekarang ini sangat tergantung pada Amerika. Apapun yang dilakukan Amerika, mereka pasti mengikutinya,” kata Tarmizi menjelaskan, sambil menambahkan, sikap Amerika sendiri, tetap akan melemahkan Iran dengan memberikan bantuan pada Irak, meskipun tidak sepenuhnya.
Masalahnya, Amerika sendiri dalam membantu Irak dalam Perang Iran-Irak, seperti membesarkan kucing menjadi harimau. Tentunya, dalam memberikan bantuan terhadap Irak, Amerika dan negara-negara Arab ada batas-batasnya, agar tidak membahayakan.
Lebih jauh dijelaskan, Tahun 1980 lalu, Lembaga Strategi Amerika Serikat telah memasukan Iran sebagai salah satu 10 dari kekuatan dunia. Itulah alasannya, mengapa Amerika menganggap Iran sebagai ancaman yang perlu dilumpuhkan. Sayangnya, kadang pihak Iran maupun Irak tak menyadari, kalau mereka sedang dimanfaatkan oleh Amerika.
(Harian-Terbit/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar