AWAL 1980-an gelombang Revolusi Iran, kebijakan konvensional adalah gerakan Islam yang dirancang untuk menyapu bersih kekuatan sepanjang Timur Tengah. Ini tidak terjadi, malah nyaris kalah. Dan kajian baru oleh ilmuwan kelahiran Mesir, Ibrahim Karawan menyatakan, Islamisme politik sekarang dalam kondisi impas.
Pembantaian massal 58 turis bulan lalu oleh kelompok Islam bersenjata di Mesir bisa jadi menunjukkan ketidakpuasan gerakan yang mencuat lantaran represi dan pemisahan-pemisahan intern, ketimbang pamer kekuatan. Aktivis Islam dimana pun mengecamnya.
Dalam essaynya, “This Islamist Impasse”, yang diterbitkan International Institute of Strategic, Karawan tidak menyatakan Islamisme politik lenyap atau bahkan berkurang. Tapi ia menyorot lupa-diri negara-negara Timur Tengah dalam menghadapi tantangan dari berbagai gabungan tekanan dalam krisis, reformasi ekonomi yang kaku, meluasnya identitas nasional Islam, dan menjaga jarak. “Islam tidak menunjukkan kekuatan masa depan dalam politik Arab,” katanya.
Revolusi unik Iran
Karawan menyatakan, Revolusi Islam 1979 di Iran (yang non-Arab) tetap unik di Timur Tengah, selain peran sosial yang kian meningkat dari kelompok-kelompok Islam di berbagai negara. Hanya Sudan dan Afganistan “sudah meninggalkan Islam” sejak itu. Kedua negara ini perang saudara dan bukan model yang menarik bagi negara-negara Islam.
Saat Teheran menjadi tuan rumah pertemuan puncak negara-negara Islam bulan ini, sebagian besar pemimpin Muslim Sunni yang hadir bisa merasakan goncangan oleh Revolusi Muslim Syiah Iran yang menggulingkan Shah.
“Iran gagal memicu penularan revolusioner,” tulis Karawan. Rezim Iran dan juga Sudan tidak dalam posisi mengekspor revolusi.”
Tapi Karawan dan para pakar lainnya mengingatkan bahwa kemacetan proses perdamaian Arab-Israel sekarang ini, dan dukungan Amerika terhadap Israel, bisa-bisa membangkitkan gerakan Islam di wilayah Palestina dan Yordania dan melecehkan pemerintah Arab yang punya hubungan dengan negara Yahudi itu [Israel].
Karawan membedakan antara militant Islam yang berupaya menggulingkan pemerintah dengan merebut kekuasaan melalui kekerasan, dan Islamis politik, yang berupaya di dalam sistem kenegaraan yang ada. Tapi ia menyatakan kedua-duanya gagal mencapai tujuan mereka.
Bila militan Muslim menghadapi tantangan dari negara, mereka kerap menghadapi represi yang luas, seperti dalam menindak pemberontakan Hama 1982 di Syiria, atau tindakan keras terhadap gerilyawan Islam di Aljazair sejak tentara ikut campur pada 1992 guna mencegah partai Front Penyelamatan Islam unggul dalam pemilu.
Di Turki (non-Arab), di mana partai Kesejahteraan Islam memimpin pemerintahan koalisi selama setahun setelah memperoleh kursi terbanyak dalam pemilu, militer yang berkuasa menekan guna mendesak mundur perdana menteri Necmettin Erbakan dari pemerintahannya pada Juni.
Partainya sekarang diadili di hadapan pengadilan konstitusi dan menghadapi kemungkinan larangan menentang peraturan sekuler yang dibentuk Kemal Attaturk, pendiri republik modern Turki.
Mirip pakar-pakar Barat, Karawan melihat pertumbuhan Islam sebagai outlet ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat yang tidak punya, atau tidak mengizinkan alat-alat institusional guna menyalurkan oposisi.
Beberapa pemerintah Arab sudah memperkenalkan pembaharuan sosial atau demokrasi utuh, tapi kebanyakan mengelolanya guna memasukkan Islam dengan mencampurkan “represi politik, pilihan bersama yang selektif dan legitimasi diri religius”, katanya.
Pakar Perancis Gilles Kepel menyatakan gerakan Islam Mesir sudah kehilangan kekuatannya untuk menggerakkan massa lantaran liberalisasi ekonomi sudah memberi kelas menengah patokan dalam sistem tersebut. “Akibatnya, prospek perebutan kekuasaan Islam sangat jauh dibandingkan pada 1980-an, dan fringe yang paling radikal, muncul dari prospek politik ini, menimbulkan terorisme yang lebih keras,” katanya.
Karawan menyatakan adaptasi pemerintah Arab terhadap tantangan Islam, Banyak pihak memakai terminologi Islam, dan kebijakan luar negeri mereka, misalnya terhadap konflik di Bosnia, sudah terpengaruh Islam.
Beberapa memberi bobot yang lebih besar pada penyiaran agama, menampilkan para pemimpin mereka secara teratur ketika shalat atau mengadakan gerakan simbolik guna memicu hukum Islam.
Sementara itu, gerakan Islam sudah memilah-milah strategi dan taktik, dengan pemisahan soal interpretasi ayat-ayat agama, sikap terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, tapi juga perbedaan antara generasi aktivis.
Islam menghadapi hambatan di tiga jalur kekuasaan politik, exacerbating perbedaan soal alat terbaik mencapai tujuan mereka. Membunuh pemimpin individu, seperti presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981 atau Muhammad Boudiaf dari Aljazair pada 1992, belum mematahkan rezim mereka.
Bersaing dalam pemungutan suara di dalam demokrasi terbatas seperti Kuwait atau Yordania memberi kursi parlemen Islam dan mempengaruhi masyarakat tapi belum menimbulkan kontrol politik, dan kerap mengalami kemunduran, kata Karawan. Termasuk Sudan, mereka sudah mengupayakan mengambil alih kekuasaan melalui kudeta militer.
(Reuters/Harian-Terbit/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar