Kalau selama ini penggemar film hanya bisa menikmati film-film produksi Iran lewat pekan film atau festival film tertentu, kini salah satu film Iran bakal diputar di bioskop-bioskop Indonesia. Film berjudul Children of Heaven yang disutradai Majid Majidi ini masuk nominasi Oscar untuk kategori film asing terbaik tahun lalu. Film ini juga meraih penghargaan antara lain pada Montreal World Film Festival, Newport International Film Festival, dan Singapore International Film Festival.
Film dengan pemeran utama anak-anak, Amir Farrookh Hashemian dan Bahare Seddiqi ini, bisa membawa penonton melihat Iran lewat kisah hilangnya sepasang sepatu. Satu-satunya sepatu milik gadis kecil dari keluarga kelas bawah penduduk Teheran. Skenario yang juga ditulis Majid Majidi, sangat memperhatikan sampai detil soal sepati itu, hingga mampu mambawa persoalan yang bagi sebagian orang tak ada artinya, menjadi sesuatu yang sangat berarti.
Children of Heaven dibuka dengan kesibukan anak laki berusia sembilan tahun, Ali (Amir Farrokh Hashemian) menjalankan perintah ibunya. Ia membawa sepasang sepatu adik perempuannya, Zahra (Bahare Seddiqi) ke tukang sol sepatu, lalu pergi beli roti dan kentang. Ketika memilih-milih kentang, ia letakkan tas plastik berisi sepatu Zahra di depan kios penjual sayur mayor. Seorang pemulung buta tanpa sengaja mengambilnya.
Ketika sampai di rumah, ia mendapati ibunya tengah mencuci di kolam yang terletak di tengah halaman dikelilingi pintu-pintu rumah kontrakan. Kolam itu tak hanya digunakan untuk mencuci, tetapi juga sumber air minum dan tempat hidup ikan-ikan, sekaligus tempat para ibu mengobrol. Teriakan pemilik rumah yang menagih tunggakan uang sewa rumah menandakan latar belakang sosial ekonomi keluarga yang tinggal di situ.
***
MALAM hari keluarga itu berkumpul di satu ruangan serba guna (ruang tidur sekaligus tempat memasak, tempat belajar, dan sebagainya), ibunya menidurkan adik bayi Ali sambil bercakap-cakap dengan ayahnya yang tampak galak. Percakapan orang dewasa itu seputar masalah uang, sementara Ali dan Zahra berkomunikasi tentang sepatu yang hilang lewat tulisan. Mereka khawatir hilangnya sepatu itu bakal meledakkan amarah ayahnya, sekaligus menunjukkan ketidakberdayaannya mencukupi biaya hidup anak-istrinya.
Ali dan Zahra bersepakat bergantian memakai sepatu Ali. Pagi hari Zahra memakainya, dan ia harus cepat-cepat berlari pulang agar Ali bisa memakai sepatu yang sama ke sekolah pada siang harinya. Hari-hari terbirit-birit dengan sepasang sepatu untuk dua anak itu menimbulkan berbagai kisah. Mulai dari sepatu yang kecemplung got hingga mengakibatkan Ali terlambat sekolah, Zahra mengenali sepatunya yang hilang dipakai teman sesekolahnya namun ia tak tega mengambilnya karena ayah anak itu pedagang asongan yang buta, sampai tekad Ali menjadi juara ketiga lomba lari hanya karena hadiahnya sepasang sepatu.
Children of Heaven juga menunjukkan perbedaan kontras kehidupan kalangan atas yang tinggal di Teheran utara dengan warga kelas bawah yang tinggal di selatan, lewat perjalanan Ali dan ayahnya bersepeda melewati jalan layang, gedung pencakar langit, rumah berhalaman luas yang tertutup pagar tembok tinggi dan komunikasi dilakukan lewat interkom. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pagar tembok tinggi, juga kesepian seorang anak yang tinggal di dalamnya.
Pada sisi lain, film ini menampilkan kasih sayang antara Ali dan Zahra yang berusaha memecahkan sendiri persoalan mereka. Kasih sayang juga muncul ketika sepeda Ali dan ayahnya menabrak pohon. Atau, meski ayah Ali terkesan galak tetapi emosinya justru keluar saat ia mendengar suara-suara dari mesjid. Adegan itu sekaligus menunjukkan bagaimana peran agama dalam kehidupan masyarakat Iran.
Pengetahuan penonoton terhadap Iran juga muncul lewat adegan-adegan di sekolah, misalnya bagaimana guru memasukkan doktrin terhadap anak muridnya. Namun, semua itu dikemas tanpa sikap protes atau sinis, jalinan cerita film itu mengalir mulus. Dalam sekitar 90 menit, penonton tahu bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Iran.
***
LEWAT film-film inilah orang di luar Iran bisa belajar tentang kebudayaan Iran, tulis netiran.com. Oleh karena film produksi Iran tidak semata ditujukan sebagai produk hiburan, tetapi lebih merupakan refleksi dari apag yang tengah dan pernah dialami bangsa itu. Di Indonesia, pemutaran film Iran di bioskop memang relatif langka, tetapi menurut pbs.org, film Iran sebenarnya bukan barang baru bagi perfilman dunia. Selama ini, film-film Iran berhasil meraih lebih dari 300 penghargaan dalam berbagai festival film internasional. Sutradara asal Iran seperti Abbas Kiarostami dan Mohsen Makhmalbaf bukan nama asing bagi orang-orang fim dunia.
Di Amerika Serikat, misalnya, film Iran mulai dikenal luas sekitar tahun 1996 lewat pemutaran “The White Balloon” arafan Sutradara Jafar Panahi di berbagai bioskop. Film peraih penghargaan Festival Film Cannes ini sukses, lalu diikuti dengan film Iran lainnya, Gabbeh (1997) karya Mohsen Makhmalbaf. Tahun berikutnya keluar film Taste of Cherry arahan Abbas Kiarostami. Tahun 2000 ini akan hadir The Apple yang disutradarai Samirah Makhmalbaf.
Salah satu kekuatan film Iran adalah temanya yang berkisah tentang manusia biasa dalam sebuah lingkungan maswyarakat beserta nilai-nilai moral, budaya dan kehidupan sosialnya sehari-hari. Meski sederhana tetapi tetap mampu mengetengahkan hal-hal yang universal sifatnya, seperti kasih sayang, rasa takut, kesedihan, dan sifat manusia pada umumnya, tanpa terjebak menjadi sebuah film cengeng.
Di sisi lain, keterbatasan anggaran menjadi alasan mengapa sutradara Iran memilih dan akhirnya piawai dalam mengeksplorasi fiksi dan dokumenter. Para sutradara Iran juga terbatas dalam menampilkan kisah asmara orang dewasa, karena adanya aturan yang ketat terhadap hubungan antara pria dan wanita di negeri itu. Mungkin karena itu pula sutradara Iran merasa lebih leluasa menggarap tema film lewat dunia anak-anak.
Bahkan seperti ditulis web-memo.com, film anak-anak sudah menjadi tradisi perfilman Iran. Film anak-anak bukan hanya mendominasi perfilman Iran, tetapi juga membawa Iran dalam berbagai festival film internasional. Ironisnya, meski film anak-anak memegang peran penting dalam perfilman Iran, tetapi tak ada anak yang kemudian menjadi pemain film profesional. Anak-anak yang menjadi pemain film umumnya hanya sekali main film. Jadi film pertama mereka sekaligus merupakan film terakhirnya. Meski begitu, tak berarti permainan mereka seadanya, justru sebaliknya. Misalnya, pada film Children of Heaven, ekspresi wajah yang ditampilkan pemeran tokoh Ali dan Zahra bisa berarti sejuta kata, tanpa anak-anak itu harus mengungkapkan secara verbal apa yang mereka rasakan. Dalam berbagai diskusi mengenai film anak-anak, kerap terlontar apakah film itu dibuat untuk anak-anak atau menampilkan karakter-karakter anak-anak?ain film profesional.membawa Iran dalam berbagai f Film-film Disney misalnya, jelas dibuat untuk anak-anak, namun Children of Heaven bisa dinikmati oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sementara film lainnya, Homework (Kiarostami, 1989) yang berkisah tentang beratnya pekerjaan rumah bagi murid sekolah dasar lebih cocok untuk remaja dan dewasa, karena mengeksplorasi tekanan sistem patriakhal.
(Kompas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar