Munculnya friksi hebat antara Rusia dan Turki pasca penembakan jatuh jet tempur Sukhoi-24 milik militer Rusia oleh jet tempur F-16 Turki, pada 24 November, di perbatasan wilayah perbatasan Turki-Suriah, hubungan kedua negara untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin meregang. Dalam hal ini, aksi-aksi balas dendam Moskow terhadap Ankara khususnya pemberlakuan sanksi, bahkan menyeret ketegangan hingga ke batas konfrontasi. Setelah penembakan jatuh pesawatnya oleh Turki, Rusia harus mengambil reaksi tegas atas sikap petualangan tersebut, karena jika tidak akan memprovokasi NATO untuk berkonfrontasi dengan Rusia di Suriah. Di sisi lain, Turki tampaknya telah menyadari ancaman yang dihadapinya dan oleh karena itu, Ankarar memilih bersikap pasif.
Konfrontasi ini memiliki berbagai dimensi ekonomi, politik, media dan bahkan militer di kancah Suriah. Menyusul eskalasi gejolak tersebut, Presiden Rusia Vladimir Putin pada tanggal 3 Desember dalam hal ini menyatakan bahwa hukuman untuk Turki karena menembak jatuh Sukhoi-24 Rusia di Suriah bukan hanya terbatas pada sanksi ekonomi dan akan mencakup sektor lainnya. Putin menilai penembakan jatuh pesawat itu sebagai sebuah kekeliruan besar oleh Ankara. Erdogan, Presiden Turki tidak pernah beranggapan bahwa Rusia akan menunjukkan reaksi seperti itu. Reaksi yang memiliki dimensi negatif bagi ekonomi, perdagangan, energi Turki.
Dari sisi politik dan perang urat saraf, berbagai media Rusia melancarkan serangan hebat terhadap Erdogan dan keluarganya. Rusia dalam dimensi ini selain menghentikan seluruh hubungan politik dengan Turki, juga mengungkap hubungan Ankara dengan ISIS. Termasuk di antara langkah-langkah Moskow di bidang politik adalah keputusan Kementerian Luar Negeri Rusia untuk membatalkan sidang tingkat menlu kedua negara dalam Dewan Strategis dan larangan bagi warga Rusia untuk berkunjung ke Turki.
Pada saat yang sama, Rusia di sektor politik dan propaganda berusaha keras untuk mengungkap hubungan antara Turki dan ISIS, serta kepentingan individu dan kelompok para pejabat Turki, khususnya Erdogan dan keluarganya dalam hal ini. Vladimir Putin menuding Presiden Turki menginstruksikan penembakan jatuh pesawat Sukhoi-24 itu demi menjaga jalur perdagangan minyak ilegal dengan ISIS. Dikatakannya bahwa Rusia memiliki banyak informasi tentang penjualan minyak ISIS ke Turki.
Di lain pihak, Sergei Shoigu, Menteri Pertahanan Rusia juga pada Rabu 2 Desember menyatakan bawha Turki merupakan konsumen minyak ilegal terbesar yang diselundupkan ISIS, dan untuk mengalahkan ISIS maka kepentingan finansial kelompok itu harus dihancurkan. Menurutnya, Recep Tayyib Erdogan dan keluarganya mengendalikan perdagangan minyak dengan ISIS. Jenderal Shoigu juga menyinggung ekspor 200 ribu barel minyak dari Irak dan Suriah ke Turki seraya mengatakan, “Lebih dari 3.000 truk beraktivitas dalam proses penyelundupan minyak ke Turki.
Pada saat yang sama, serangan udara Rusia telah menyebabkan penurunan pendapatan ISIS dari penjualan hingga separuh dari sebelumnya. Sebagian minyak yang diselundupkan ISIS dijual di dalam Turki dan sebagian lainnya dijual ke negara lain melalui dua pelabuhan negara Turki. Televisi Russia24 juga melakukan penguakan fakta-fakta soal bisnis haram Erdogan dan keluarganya. Itu dilakukan dengan menyebarkan rekaman percakapan telepon Erdogan dengan putra-putranya yang diperintahkan untuk memindahkan uang dari rumah ke tempat yang aman, serta foto-foto pertemuan antara Bilal Erdogan dengan para komandan ISIS.
Meski demikian, Turki menolak semua fakta-fakta yang dibeberkan oleh Rusia. Erdogan dan keluarganya juga menepis hubungan mereka dengan ISIS. Dalam hal ini, Perdana Menteri, Ahmet Davudoglu mengatakan bahwa negaranya tidak ingin hubungan dengan Rusia putus, dan jika ada berita tentang penjualan minyak ISIS ke Turki, maka dirinya akan mengundurkan diri. Sikap aneh Davudoglu tidak berhenti dengan pernyataan itu, karena di lain kesempatan dia menyatakan bahwa Ankara tidak akan meminta maaf kepada Moskow dan bahwa Turki siap berunding dengan Rusia melalui kanal-kanal diplomatik yang tersedia.
Sebelumnya, Davutoglu juga mengklaim bahwa Turki telah berulangkali memperingatkan Rusia dan bahwa Rusia telah tiga kali melanggar zona udara Turki, dan oleh karena itu Turki tidak bertanggungjawab atas insiden tersebut.
Meski dukungan NATO terhadap Turki, sejumlah laporan mengindikasikan munculnya perselisihan pendapat antara Presiden Turki dan Kepala Staf Gabungan Militer Turki, dalam hal ini. Di saat Angkatan Udara Turki, mampu mengidentifikasi seluruh pesawat yang terbang di sekitar Turki, Erdogan dalam pernyataan kontradiktif mengklaim bahwa Ankara tidak tahu kalau pesawat Sukhoi-24 yang ditembak jatuh itu adalah milik Rusia. “Jika kami tahu itu adalah pesawat Rusia, kami akan bersikap berbeda,” katanya. Namun Staf Gabungan Militer Turki kepada media menyatakan bahwa penembakan pesawat tersebut atas pemerintah pusat Turki dan para pejabat politik negara ini harus bertanggungjawab.
Reaksi Staf Gabungan militer Turki ini mengemuka di saat pemerintah Turki menuding sejumlah elemen di dalam tubuh militer negara itu berusaha menyulut krisis dalam hubungan antara Ankara-Moskow demi menyudutkan Erdogan. Beberapa hari setelah penembakan jatuh pesawat Rusia, bahkan media-media pro-Partai Keadilan dan Pembangunan Turki, menunjukkan perubahan nyata dalam sikapnya, dan bahkan mantan menteri urusan Uni Eropa di pemerintah Turki mengatakan, “Putin telah memasang jebakan untuk Turki, dan memprovokasi Ankara untuk menembak jatuh jet tersebut, karena hasil dan dampaknya akan sangat menguntungkan Moskow.”
Reaksi Rusia dari sisi militer hingga kini mencakup dua langkah. Pertama, penempatan sistem rudal anti-udara modern S-400 di provinsi Lattakia, Suriah yang berbatasan dengan Turki. Dengan demikian, Rusia memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman udara di Suriah. Sistem rudal itu mampu digunakan untuk menghadapi ancaman luas di udara dari Turki maupun oleh NATO. Jangkauannya pun mencapai 250 kilometer dan hingga ketinggian 27 kilometer. Keberadaan S-400 praktis melumpuhkan kekuatan udara Turki dan NATO, serta membuka ruang lebih leluasa bagi Rusia untuk beroperasi di Suriah.
Langkah kedua Rusia di sektor militer adalah peningkatan kehadiran militernya di Suriah dan juga perluasan radius operasi militer di negara itu. Dalam hal ini, jumlah jet tempur Rusia di Suriah bertambah hingga 67 unit. Pengerahan pesawat bomber strategis TU-160 dan helikopter serbu MI-28N dan K-52 ke Lattakia, meningkatkan kemampuan serbu dan serangan Rusia untuk melawan kelompok-kelompok teroris. Selain itu, Rusia juga mengerahkan kapal tempur anti-udara Moskowa ke pesisir Suriah di perairan Mediterania.
Langkah tersebut membuktikan bahwa pasca aksi Turki, Moskow sama sekali tidak berniat membatasi ruang operasinya di Suriah, melainkan justru memperluasnya dan bahkan sekaligus menggertak sejumlah negara yang kemungkinan akan memanfaatkan kondisi yang ada saat ini. Sementara, di sisi lain, pnggunaan berbagai logsitrik baru di Suriah oleh Rusia juga dapat dinilai sebagai keseriusan berlipat Rusia dalam memberantas kelompok-kelompok teroris yang mendapat dukungan yata dari Turki, Arab Saudi dan Qatar, dengan lampu hijau dari Amerika Serikat.
Namun pada saat yang sama, Rusia juga tidak akan nekat mengambil langkah militer langsung melawan Turki. Kremlin mengetahui dengan baik bahwa terbukanya konfrontasi militer dengan Turki walau terbatas, justru akan menguntungkan Erdogan. Apalagi setelah Sekjen NATO menegaskan bahwa Turki berhak membela diri. Dengan demikian,secara implisit NATO mendukung semua langkah Turki dan juga akan tetap mendukungnya dalam berkonfrontasi dengan Rusia, mengingat Turki adalah anggota NATO.
(IRIB-Indonesia/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar