Haj Agha Mostafa adalah seorang yang mengenal tugasnya dan merasa bertanggung jawab terkait pada orang lain. Seakan-akan ada janji harus membantu masyarakat. Khususnya terkait pada Imam Khomeini, dalam hal ini dia sangat berhati-hati dan dia sangat mencintai Imam dan menjaga beliau. Dia tidak keluar dari Najaf dan tidak membiarkan Imam Khomeini sendirian. Terkadang kepadanya dikatakan, “Anda bisa pergi ke negara-negara lain. Namun dia menjawab, “Islam membutuhkan Agha [Imam Khomeini] dan kami berkewajiban untuk menjaga beliau dan melayaninya.”
Bila -jangan sampai terjadi- Imam Khomeini sakit, maka dia panik dan cemas dan berusaha mendatang dokter terbaik untuk beliau. Dia bersabar menahan panasnya suhu di musim panas demi menjaga Imam Khomeini. Dia tidak pernah meninggalkan rumah sampai dua atau tiga hari, kecuali karena i’tikaf. Dia adalah anak sekaligus teman dan pelindung Imam Khomeini dan benar-benar menjaga kondisi beliau. Khususnya bila ibu sedang bepergian. Dia mewajibkan dirinya untuk tetap di sisi Imam Khomeini. Namun, bila kami datang ke Najaf, dia merasa tenang. Saya masih ingat, dalam safar terakhir yang juga merupakan pertemuan terakhir kami [dengan dia], dia mengatakan, “Kalian ada dan saya juga sangat lelah, saya diundang untuk pergi ke Suriah selama satu bulan.”
Sebelum kepergiannya, kami menyampaikan tanggal berapa kami harus balik ke Iran. Dia juga menetapkan untuk kembali ke Najaf sebelum kepergian kami. Dua hari sebelum kami balik, dia sudah kembali. Kami sangat gembira dan dia mengatakan, “Saya tidak mendapatkan tiket pesawat, karena kepergian kalian sudah dekat, akhirnya saya kembali dengan naik bus.”
Selain karena kecintaanya kepada kami, dia tidak ingin Imam Khomeini merasa sendirian dan datang dengan naik bus selama kurang lebih 22 jam lamanya di perjalanan. Seakan-akan jiwa Imam Khomeini lebih besar dari semua ini bagi dia dan keberadaan atau ketiadaan kami tidak menjadi penentu. Tentunya saya tidak mengatakan dia tidak mencintai kami, tapi tujuan dia lebih tinggi dari semua masalah ini.
Baginya, Imam Khomeini adalah rahbar sekaligus marji dan ayah. Hubungan dia dengan Imam Khomeini sangat akrab. Setiap kali Haj Agha Mostafa masuk ke dalam ruangan, wajah Imam Khomeini berubah dan ini menunjukkan kecintaan Imam Khomeini kepadanya. Satu lagi dalilnya adalah selama lima belas tahun mereka bersama-sama dengan akrab berada di kota asing.
Musuh berpikir bahwa dengan mensyahidkan Haj Agha Mostafa mereka bisa mengeluarkan Imam Khomeini dari kancah perjuangan. Bagi mereka pukulan terampuh terhadap Imam Khomeini adalah mengambil anaknya yang terbaik; anak yang tidak hanya sebagai anak saja tapi juga sebagai teman, sahabat dan penolong dan dalam semua masa kehidupan dan semua perjuangan berada di belakang Imam. Bahkan pasca diasingkannya Imam Khomeini ke Turki dan dia dipaksa untuk diam, dia bertahan dan berkata, “Saya akan melanjutkan jalannya Imam.” Itulah mengapa dia juga diasingkan ke Turki. Mereka berada di Turki selama satu tahun. Kemudian pergi ke Najaf bersama Imam dan selama tiga belas tahun menjalani masa-masa usianya yang paling bagus di sana. Dia mencapai syahadah ketika usia 48 tahun.
Dia dari sisi fikih memiliki derajat yang tinggi dan dia sendiri juga mengajar. Namun dia juga mengikuti kelas pelajaran Imam Khomeini dan termasuk salah satu muridnya yang hebat dan dikatakan bahwa dia adalah satu-satunya murid Imam Khomeini yang mengajukan pertanyaan.
Pasca kedatangan Imam Khomeini dan Haj Agha Mostafa ke Irak, ketika kami sampai ke Najaf dan sibuk bertemu dan berbincang-bincang, pada saat itu pula para petugas pemerintah [Saddam Hossein] menyerbu rumah dan menangkap dia [Haj Agha Mostafa] dan membawanya. Istrinya yang pada masa itu sedang mengandung, karena kesedihan waktu itu, akhirnya mengalami keguguran.
Di masa-masa ketika Imam Khomeini memimpin revolusi dari Najaf, dia adalah sahabat dan penolong serta teman kerja bagi Imam Khomeini. Dia benar-benar menghormati Imam Khomeini dan sekalipun usianya sudah dewasa dan mencapai derajat ijtihad, dia sungguh menaati Imam Khomeini dan mendahulukan kenyamanan beliau daripada untuk dirinya sendiri. Terkadang kami menyaksikan kondisi Imam Khomeini benar-benar kritis karena perjuangan dan tirakat. Beliau sangat mencintai Imam Khomeini karena keberadaan Imam sangat penting untuk memimpin revolusi. Imam Khomeini senantiasa berkata:
“Berusahalah melakukan pekerjaan-pekerjaan mustahab jauh dari pandangan masyarakat dan lakukan dalam kesendirian sehingga jangan sampai riya merasuk ke dalamnya.”
Itulah mengapa Haj Agha Mostafa senantiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan mustahab di dalam kamar dan pintunya tertutup. Tapi terkadang kami mendengar dari pembantunya atau istrinya mengatakan, misalnya di pertengahan malam lampu kamarnya menyala dan sibuk beribadah dan kami bisa mengetahuinya dari jidatnya yang menghitam karena lamanya bersujud.
Sebelum revolusi, shalat Jumat secara keseluruhan tidak diselenggarakan. Namun dia selalu shalat berjamaah mengikuti Imam Khomeini. Dari tahun 1342 dan selanjutnya, dia shalat jamaah mengikuti Imam Khomeini di rumah, kemudian setelah datang ke Najaf, melakukan shalat jamaah bersama Imam di masjid. Selama bulan Ramadhan dia berpuasa dan bila suatu waktu harus melakukan bepergian beliau tidak berpuasa dan mengqadha puasa [yang ditinggalkannya] tersebut. Saya masih ingat, suatu malam kami membangunkannya untuk makan sahur. Ketika dia keluar dari kamar, karena terkena gas beracun arang [sebagai pemanas] dia pingsan dan jatuh di tengah-tengah ruangan. Malam itu kami sangat ketakutan dan Imam Khomeini khawatir. Kemudian setelah dia sadar kembali, Imam Khomeini berkata:
“Tidak baik bagimu besok berpuasa, lakukan saja qadhanya setelah Ramadhan.”
Dalam kondisi semacam ini, padahal dia tidak berpuasa, sikapnya sedemikian rupa sehingga seakan-akan dia berpuasa karena untuk menjaga kehormatan bulan Ramadhan.
Haj Agha Mostafa telah menetapkan Imam Khomeini sebagai wakilnya, seakan-akan dia tahu kalau bakal meninggal dunia terlebih dahulu. Padahal kebanyakan orang menjadikan putranya sebagai wakilnya. Dia telah menetapkan ayahnya sebagai wakilnya. Mengingat dia benar-benar hidup sederhana dan tidak menumpuk-numpuk harta kekayaan, dalam wasiatnya menulis, “Saya tidak memiliki apa-apa sehingga harus berbicara tentangnya, kecuali gajih pembantu rumah yang terlambat diyar selama dua bulan, bayari dia!”
Jenazah Haj Agha Mostafa dibawa ke Karbala dan dimandikan di sungai Furat dan kemudian dibawa kembali ke Najaf. Di sana [Najaf] jenazahnya dimakamkan dengan dihadiri oleh semua ulama juga Imam Khomeini. Imam Khomeini setiap malam mendatangi rumahnya dan setelah menjenguk istri almarhum [Haj Mostafa], beliau kembali ke rumahnya sendiri. Setelah lewat satu minggu beliau mulai mengajar kembali dan berkata:
“Mostafa adalah harapan Islam di masa depan.”
Kemudian berkata:
“Kematian Mostafa merupakan anugerah ilahi yang tersembunyi.”
Dan kenyataannya memang demikian. Setelah empat puluh harinya, gerakan revolusi semakin laju dan puncaknya adalah kehancuran rezim Pahlevi dan ini adalah salah satu ilham ilahi kepada Imam Khomeini dimana beliau menyaksikan anugerah semacam ini di hari itu.
Sebagaimana Anda tahu, wacana perempuan merupakan bagian dari wacana yang memiliki beragam pendapat. Mohon jelaskan, bagaimana pendapat Imam Khomeini terkait posisi dan kedudukan perempuan?
Menurut saya, pendapat Imam Khomeini ra terkait perempuan dan kedudukannya sudah jelas di dalam pesan-pesan, pidato dan pengumuman beliau. Imam Khomeini pada dasarnya memiliki pendapat yang benar-benar positif terkait perempuan. Ketika kami memandang kehidupan rumah tangga beliau, kami menyaksikan beliau sangat menghormati dan menghargai istrinya. Yang senantiasa menjadi perhatian dan penekanan Imam Khomeini terkait perempuan adalah masalah pendidikan mereka. Karena perhatian beliau pada pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, meski kehidupan rumah tangga beliau telah berjalan bertahun-tahun, beliau sendiri yang mengajarkan berbagai macam pelajaran kepada istrinya. Beliau juga memerintahkan saudara saya [Syahid Mostafa Khomeini] untuk mengajari saya. Saya juga selama bertahun-tahun belajar pada saudara saya yang telah syahid ini. Imam Khomeini menetapkan program semacam ini di masa ketika kebanyakan perempuan dilarang untuk sekolah. Beliau juga memperlakukan anak-anaknya sedemikian rupa sehingga jangan sampai merasa ada diskriminasi di antara mereka dan itu di masa ketika kebanyakan masyarakat membedakan antara anak lelaki dan anak perempuan.
Pada hakikatnya dengan perilakunya ini Imam Khomeini benar-benar melakukan perlawanan terhadap sikap-sikap kolot. Mengingat pendapat beliau terkait perempuan sepenuhnya positif, beliau secara luar biasa menghormati istrinya dan menginginkan agar ibu benar-benar merasa nyaman. Terkait dengan anak-anak juga demikian. Meskipun dalam urusan syariat beliau bersikap tegas, tapi dalam urusan sosial beliau tidak mempersulit kami dan membiarkan kami merasa nyaman sehingga kami bisa melakukan aktivitas yang menurut kami perlu. Istri beliau dalam kehidupan rumah tangga juga benar-benar memiliki kebebasan. Semua urusan rumah sepenuhnya berada di bawah manajemen ibu dan Imam Khomeini sama sekali tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah. Tentunya bila beliau ditanya, beliau akan menyampaikan pendapatnya. Beliau mengatakan:
“Para suami tidak berhak menganggu dan menyakiti istrinya atau melakukan pemaksaan kepada mereka.”
Bahkan beliau meyakini bahwa bila seorang suami – jangan sampai terjadi – memukul istrinya, maka istri bisa melakukan pembalasan yang sama. Tentunya bila beliau menyaksikan perselisihan dalam kehidupan rumah tangga seseorang, beliau menganjurkan mereka untuk saling rukun. Tapi kami tidak pernah mendengar dari beliau mengatakan bahwa wanita yang mengalami keteraniayaan di dalam rumah tangga, harus diam. Beliau sama sekali tidak memiliki pendapat seperti ini. Imam Khomeini dalam hidupnya pernah menyaksikan sebagian perempuan yang mengalami keteraniayaan oleh suami-suami yang tidak saleh. Oleh karena itulah beliau meminta kepada para pejabat pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat dalam pernikahan dan mencatatnya dalam surat nikah bahwa bila wanita mengalami keteraniayaan, maka ia bisa mencari jalan keluar. Pada hakikatnya beliau mengupayakan hal ini sebagai perantara agar wanita lebih sedikit mengalami keteraniayaan. Tapi, meskipun ada tiga belas syarat di dalam surat nikah, masih ada saja suami-suami yang mengganggu dan menyakiti istrinya dan sang istripun bersabar menahan segala kesulitan di bawah kondisi yang paling sulitpun demi anak-anaknya dan berusaha menyesuaikan diri.
Khusus aktivitas sosial, Imam Khomeini sebagai penyemangat kaum perempuan. Selama era revolusi dan setelahnya dalam pidato-pidato dan pengumumannya beliau meminta ibu-ibu untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan rezim [Shah Pahlevi] dan ikut serta melakukan demonstrasi. Meskipun Imam Khomeini menekankan agar kaum perempuan menjaga kehormatan dan hijabnya, namun beliau meyakini bahwa kaum wanita harus ikut serta bahu-membahu bersama kaum lelaki dalam urusan sosial, politik, budaya, pendidikan dan seni. Beliau juga tidak melarang sama sekali putri-putrinya untuk aktif di bidang sosial. Buktinya adalah adanya Muasasah Khairiyeh Wa Farhanggi- Amouzeshi 12 Farvardin [Yayasan Khairiyah dan Budaya-Pendidikan 12 Farvardin] yang saya dirikan pada tahun 58 [1358 Hs] dengan bantuan beberapa teman. Ketika yayasan sosial ini berdiri, selain Imam Khomeini memberikan semangat, beliau juga memberikan bantuan uang dan senantiasa menanyakan kinerjanya. Alhamdulillah, kaum perempuan dalam masyarakat juga seiring dengan kaum lelaki bangkit mengambil haknya dan tidak duduk berpangku tangan sehingga mendapatkan kembali posisi dan haknya yang telah hilang. Mereka senantiasa ikut serta di semua kancah dan arena dan benar-benar menunjukkan kecerdasan dan kebesarannya sehingga terbukti bahwa mereka layak mendapatkan semua pujian itu dari Imam Khomeini ra.
Bila Anda punya kenangan dari Imam Khomeini, mohon sampaikan kepada kami!
Saya masih ingat, waktu itu kami di Tehran dan saya ada ujian. Hari itu adalah Yaumullah [Hari Allah] dan ibu ada tamu. Di rumah banyak orang. Saya mengambil barang-barang saya dan masuk ke ruangan Imam Khomeini. Kepada beliau saya berkata, karena ruangan Anda sepi, saya datang ke sini untuk belajar. Beliau menyetujui dan menyiapkan fasilitas supaya saya benar-benar nyaman. Sebentar kemudian beliau datang masuk ke ruangan dengan membawa sebuah talam dan di atasnya segelas teh. Dengan segan saya bangun dan berkata, “Agha! Mengapa Anda repot-repot?”
Imam Khomeini tertawa dan berkata:
“Orang yang sedang belajar itu terhormat.”
Saya masih ingat selama saya belajar di ruangan itu, kepada siapa saja yang masuk ke ruangan itu beliau berkata:
“Diamlah! Farideh sedang belajar!”
Sikap Imam Khomeini ra ini menunjukkan pandangan beliau akan pentingnya pendidikan bagi kami. Sungguh perbedaan beliau dengan yang lainnya dan kelebihan beliau dari yang lainnya adalah cara berpikirnya. Pemikiran manusialah yang membedakan dia dengan yang lainnya. Oleh karena itulah seorang penyair berkata;
Hai saudara! Kau-lah pemikiran itu
Sisanya adalah tulang dan akar
Bila pemikiranmu adalah bunga, maka engkau adalah taman bunga
Bila pemikiranmu adalah duri, maka engkau adalah duri dalam tungku perapian
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap anak-anaknya di lingkungan rumah tangga?
Imam Khomeini di rumah sangat sayang dan akrab dengan anak-anak. Lingkungan rumah tangga benar-benar penuh dengan persahabatan dan keakraban. Tentunya pada saat yang sama beliau sangat tegas dan serius. Kami tahu dan secara praktis memang diajarkan demikian kepada kami - bukan lantas dikatakan dalam bentuk ucapan kepada kami misalnya, bila saya bicara, maka kalian tidak boleh berbuat sebaliknya – bahwa bila sesuatu bertentangan dengan yang dimaukan beliau, maka kami tidak akan melakukannya dan tidak pernah melakukannya. Tentunya beliau memberikan kebebasan kepada kami dalam cabang-cabang agama dan tidak terlalu mempersulit. Tapi terkait masalah usul agama, beliau sangat komitmen dan tidak seorangpun bisa menentangnya.
Beliau selalu menegaskan agar kami tidak berbuat dosa dan beradab dengan adab Islam. Tidak masalah bila kami bermain dan melakukan keributan di dalam rumah, tapi bila ternyata menyebabkan tetangga merasa terganggu, maka beliau benar-benar menegur kami dan tidak suka. Dengan demikian kami selalu berusaha berbuat sedemikian rupa sehingga beliau senang dan tidak mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan kemauannya. Agar beliau jangan sampai tidak rela dan tidak suka.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa cara pendidikan beliau sangat tegas. Misalnya bila kami berbuat sesuatu bertentangan dengan keinginan beliau karena kenakalan kami, cara pendidikan beliau tidak lantas memanggil kita dan mengatakan, bukankah saya sudah mengatakan jangan lakukan hal ini? mengapa kalian lakukan?...” kemudian menghukum kami dan kamipun mengatakan, “Agha! Maaf!”
Imam Khomeini begitu berwibawa, sehingga dengan sendirinya kami merasa segan pada beliau dan menjaga perilaku kami. Beliau tidak pernah marah dan tidak pernah memukul. Terkadang beliau menegur dengan suara agak keras dan ini sudah cukup sampai beberapa hari lamanya. Bila kami melakukan sesuatu bertentangan dengan kemauan beliau dan kami tahu bila melihat kami maka beliau tidak suka, maka kami menyembunyikan diri dari pandangannya sampai dua atau tiga hari dimana jangan sampai beliau melihat kami dan memarahi kami.
Kebetulan masalah ini terjadi pada diri saya sendiri. Beliau menekankan jangan sampai kami keluar sendiri untuk membeli sesuatu. Padahal waktu kami masih kecil beliau mengatakan:
“Bila kalian mau sesuatu, katakan supaya pembantu ini yang membelikan!”
Saya waktu itu seorang anak gadis berusia sepuluh atau sebelas tahunan. Saya keluar untuk membeli kertas. Saya cepat-sepat balik dan tidak begitu menutup wajah saya. (tentunya waktu itu saya sudah mencapai usia taklif. Selama belum mencapai taklif kami tidak dibebani taklif apapun) Saya melihat Imam Khomeini datang dan melihat saya. Karena wajah saya terbuka dan jalan tergesa-gesa dan berpapasan dengan beliau, saya benar-benar takut dan kira-kira selama dua hari saya menyembunyikan diri. Yakni saya tidak hadir untuk makan bersama. Saya mencari alasan dan makan bersama pembantu. Pada malam hari saya pura-pura tidur dan tidak hadir makan bersama. Beliau juga tidak mengatakan, “Mengapa Farideh tidak datang makan? Padahal biasanya kalau ada anak-anaknya yang tidak hadir makan bersama, pasti beliau menanyakan, “Mengapa tidak ada? Mengapa tidak hadir untuk makan bersama?” Bila kami berada di rumah, maka harus hadir untuk makan bersama. Kalaupun tidak di rumah, beliau pasti menanyakan mengapa kami tidak ada? Karena kami tidak berhak sama sekali pergi keluar tanpa dibarengi ibu. Tapi beliau tahu mengapa saya tidak menampakkan diri. Itulah mengapa beliau tidak menampakkan masalah ini. Karena supaya buruknya masalah tidak terhapus dan rasa takut ini tetap ada pada kami. Pengaruhnya juga bagus dan menyebabkan kami tidak berbuat salah. Bukannya lantas kami selalu berbuat salah dan dihukum atau kita lantas minta maaf kemudian mengulangi lagi kesalahan itu.
Imam Khomeini ra tidak terlalu mempersulit urusan kecuali dalam masalah syariat. Beliau selalu menekankan agar kami melaksanakan perintah-perintah Allah supaya kita jauh dari dosa-dosa. Kami tidak didikte tentang pekerjaan-pekerjaan agama. Di dalam rumah, ketika kami menyaksikan perilaku Imam, dengan sendirinya berpengaruh pada kami. Kami selalu berusaha seperti beliau. Sekalipun tidak bisa seperti beliau.
Dari sisi pendidikan, beliau sebagai teladan bagi kami. Ketika beliau mengatakan, “jangan melakukan hal ini” dan kami juga melihat beliau tidak pernah melakukan hal tersebut seumur hidupnya, kami juga tidak melakukannya.
Misalnya kepada kami beliau mengatakan, “Kalian harus mengerjakan shalat.” Beliau sendiri setengah jam sebelum zuhur sudah mengambil wudhu dan menyiapkan diri untuk shalat. Kamipun sedang sibuk bermain di halaman. Sekali saja beliau juga tidak pernah memanggil kami “Anak-anak, ayo shalat! Saya sudah berdiri, lakukan shalat jamaah dengan saya atau kalian shalat sendirian!” Selama bertahun-tahun beliau senantiasa shalat di awal waktu, tapi sekali saja tidak pernah mengatakan kepada kami, “Sekarang tinggalkan kesibukan kalian, waktunya azan, tinggalkan dulu permainan kalian dan kerjakan shalat!” tapi beliau mengatakan:
“Kalian harus mengerjakan shalat dari jam sekian sampai jam sekian, awas bila ada yang tidak mengerjakan shalat sepanjang waktu ini. Kalau tidak mengerjakan shalat di waktu ini, maka harus keluar dari rumah.”
Yakni jangan menjadi anaknya Imam Khomeini. Beginilah sikap beliau. Di waktu subuh beliau juga tidak membangunkan kami dan hanya mengatakan:
“Bila kalian bisa bangun, maka bangunlah dan kerjakan shalat. Bila kalian tidak bisa bangun, maka ketika waktu zuhur, sebelum mengerjakan shalat zuhur dan asar, kalian harus mengqadha shalat subuh kalian.”
Pada musim dingin kamipun bangun untuk mengerjakan shalat subuh dan mengambil wudhu di kolam. Bila misalnya ada sedikit air hangat, beliau mengatakan:
“Sini, ambillah wudhu dengan air hangat ini!”
Terkait shalat beliau tidak mempersulit kami. Dari sisi ini, alhamdulillah ada pengaruhnya yang baik pada anak-anak beliau.
Saya masih teringat sebuah kenangan. Baru saja saya mencapai usia taklif. Malamnya saya tidur. Imam Khomeini dan saudara saya datang dalam kondisi ceria dan sangat gembira. Kepada saya bertanya, apakah saya sudah shalat? Saya berpikir karena Imam Khomeini dalam kondisi ceria, shalat saya baginya tidak penting. Saya menjawab, “belum” mendengar jawaban saya, kondisi beliau menjadi berubah dan marah dan benar-benar tidak suka. Saya sendiri juga kecewa pada diri saya sendiri. Mengapa suasana ceria itu saya bikin menjadi pahit dengan ucapan dan amalan saya.
Beliau menekankan agar kami menjaga [memakai] hijab sejak masa kanak-kanak. Di dalam rumah kami tidak berhak melakukan segala bentuk dosa sedikitpun. Termasuk ghibah [menggunjing], bohong, tidak menghormati yang lebih tua, dan menghina kaum muslim. Khususnya beliau sangat sensitif terkait penghinaan terhadap kaum muslim. Apalagi beliau selalu menegaskan bahwa hamba-hamba Allah tidak punya kelebihan dan keistimewaan di atas yang lain kecuali karena ketakwaannya. Masalah ini beliau ajarkan kepada kami sejak kami masih kanak-kanak. Beliau selalu mengatakan:
“Tidak ada bedanya antara kalian dan pembantu yang bekerja di rumah ini!”
Secara praktis kami belajar hal ini dari Imam Khomeini. Dengan cara inilah kami belajar nilai-nilai Islam.
Saya masih ingat, waktu itu saya masih kecil. Suatu hari ada seorang lelaki tua mengantarkan tanah untuk taman rumah kami. Kami sedang duduk makan bersama dan orang tersebut datang. Imam berkata:
“Orang lelaki tua ini belum makan.”
Beliau mengambil sebuah piring dan mengambil beberapa sendok makanan dari piringnya dan meletakkannya di piring tersebut, kemudian berkata:
“Ayo, ambillah beberapa sendok makanan dari piring kalian masing-masing dan letakkan di piring ini, sehingga menjadi seporsi makanan untuk satu orang.
Karena kami tidak punya makanan lebih, makanan orang lelaki tua itu kami tambahi dengan nan [roti]. Di masa kecil saya benar-benar menyukai pekerjaan ini.
Imam Khomeini ra sangat akrab dan penuh kasih sayang. Perilaku beliau sejak masa sebagai santri sampai akhir usianya tidak berbeda sama sekali. Sejak masa...saya masih ingat...ya sikap-sikap beliau kepada kami inilah. Sejak awal kami sangat menghormati beliau dan kami komitmen untuk tidak melakukan pekerjaan yang tidak disukai beliau. Karena sikap-sikap Imam Khomeini-lah sehingga tidak pernah terbetik sedikitpun dalam pikiran kami untuk berbohong atau menggunjing satu sama lain. Kami senantiasa sama sebagaimana di depan seseorang, di belakangnya juga demikian. Tidak ada bedanya.
Bagaimana Posisi Anda dan Saudara-Saudara Perempuan Anda di Rumah Sebagai Seorang Wanita?
Yang tidak menjadi permasalahan di rumah kami adalah masalah anak perempuan dan anak lelaki. Semua anak-anak di mata Imam Khomeini mulia. Kami sama sekali tidak pernah merasa bahkan beliau, siapakah yang lebih banyak beliau cintai dan siapakah yang lebih sedikit beliau cintai. Perilaku beliau sama kepada semua. Tentu saja tampaknya lebih banyak dalam menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak perempuannya. Imam Khomeini senantiasa menampakkan kasih sayangnya secara spesifik pada anak-anak perempuannya. Hal ini mungkin karena beliau tahu bahwa anak-anak perempuannya di tengah-tengah masyarakat secara alami tidak mendapatkan perhatian sebagaimana seharusnya, dan kehidupan sosial tidak memperlakukan kaum perempuan selayaknya. Itulah mengapa kami senantiasa mendapatkan kasih sayang dari beliau.
Sikap beliau kepada masing-masing anaknya sedemikian rupa sehinga setiap anak merasa bahwa Imam Khomeini lebih mencintainya daripada kepada yang lainnya. Bila –jangan sampai terjadi- salah satu dari kami merasa sedih, maka beliau tidak bersikap cuek. Beliau pasti menyelesaikannya. Misalnya, saya waktu itu tinggal di Qom. Setiap kali saya pamitan dan mengucapkan selamat tinggal, kepada saya beliau berkata:
“Begitu engkau sampai di Qom, teleponlah!”
Dan menekankan:
“Saat engkau menelpon, katakan juga pada Haji Isa agar dia menyampaikan ke aku. Jangan hanya menelpon bahwa aku sampai. Mereka tidak menyampaikan ke aku. Tidakkah mereka berpikir bahwa aku mengkhawatirkan. Engkau tegaskan ke Haji Isa, katakan ke Agha [bahwa istriku sudah sampai]”
Saya berpikir, betapa Imam Khomeini mengkhawatirkan saya. Padahal yang lainnya juga ada, tapi mereka tidak mengatakan hal ini kepadaku. Sepeninggal beliau, juga tidak ada yang mengatakan kata-kata seperti ini kepadaku. Ucapan Imam Khomeini ini membuatku berpikir, pasti beliau sangat mencintaiku. Dengan segala kesibukan politik dan sosial, beliau tidak pernah menjaga jarak dengan keluarga. Kalau saya menjenguk beliau dan saat pamitan, seperti kebanyakan seorang ayah, pasti beliau mendoakan kami di tepi telinga kami. Imam Khomeini selalu membantu pekerjaan rumah dan kepada kami berkata:
“Bantuan itu datangnya dari surga.”
Misalnya beliau senantiasa menuangkan teh sendiri. Bahkan ketika memerlukan air minum, beliau tidak pernah menyuruh siapa-siapa. Tapi beliau sendiri pergi ke dapur dan menuangkan air ke dalam gelasnya. Ketika kami berkata, “Mengapa Anda tidak menyuruh kami? Beliau berkata:
“Saya sendiri yang harus mengerjakan.”
Ketika kami duduk bersama, kami melihat Imam Khomeini menuju ke dapur. Kepada beliau kami bertanya. Beliau menjawab:
“Saya mau minum air.”
Kami berkata, “Katakan kepada kami, kami akan mengambilkan.” Beliau bekata:
“Memangnya saya tidak bisa mengerjakan hal ini?”
Kemudian sambil tertawa berkata:
“Manusia itu harus mandiri.”
Bila kami masuk ke ruangan dan saat itu Imam Khomeini sedang membaca al-Quran, beliau meminta izin kepada kami untuk menyelesaikan halaman tersebut dan segera menyelesaikannya dan menyampaikan kasih sayangnya.
Imam Khomeini tidak pernah ikut campur dalam urusan pribadi anak-anaknya bahkan istrinya dan memberikan kebebasan pada kita semua. Selama tidak bertentangan dengan syariat beliau tidak berurusan sama sekali. Dalam interaksi, dalam memakai baju dan keluar masuk. Beliau tidak mempersulit sama sekali.
Di lingkungan kota Qom, itupun pada tahun-tahun itu. Tidak mungkin saya yang seorang anak perempuan berusia 10-12 tahun diberi kebebasan yang luas. Apalagi saya sebagai anggota sebuah keluarga ruhani. Tentunya lingkungan kota Qom pada masa itu sangat buruk. Misalnya bila ingin menyekolahkan kami ke madrasah, maka menurut pandangan masyarakat sangat bermasalah. Sejatinya waktu itu di Qom tidak ada tempat bagi perempuan untuk melakukan aktivitas sosial.
Pada dasarnya Imam Khomeini tidak akan membahas perkara-perkara yang beliau katakan “jangan” dan beliau tidak akan terpengaruh oleh unsur kasih sayang ayah, anak dan suami. Tentunya sikap ketat ini terkait prinsip kehidupan. Sulit bagi kami sebagai anak-anak harus menaati peraturan beliau sekaligus berusaha mempengaruhi Imam terkait hal tertentu yang bertentangan dengan beliau, karena ucapan beliau senantiasa sama. Namun secara keseluruhan beliau tidak banyak menuntut pada kami dan kami besar dengan penuh kebebasan.
Saya masih ingat, Imam Khomeini tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah. Urusan rumah semuanya ada di bawah tanggung jawab ibu. Imam Khomeini selalu menekankan jangan sampai melakukan pemborosan dan peraturan beliau senantiasa bersifat anjuran. Waktu itu kami tinggal di Tehran dan ibu berkata, “Daging sudah sangat jarang ada. Saya mengutus [pembantu] untuk membeli di satu tempat.” Imam Khomeini berkata:
“Jangan mengutus untuk membeli daging, saya tidak makan [daging].”
Ketika kami tinggal di Najaf, karena suhu yang panas, makanan cepat rusak. Imam Khomeini berkata:
“Jangan beli biar tidak rusak.”
Kepada kami Imam Khomeini senantiasa mengatakan:
“Antara kalian dan pembantu yang bekerja di rumah [ini] tidak ada bedanya sama sekali.”
Imam sangat seimbang dan biasa-biasa saja. Mungkin sebagian beranggapan bahwa karena beliau bangkit dan mewujudkan revolusi, lalu beliau menjadi luar biasa. Padahal beliau menghargai setiap orang untuk memiliki kebebasan dan hak memilih. Dalam kehidupan pribadinya juga demikian.
Kehidupan beliau biasa-biasa saja. Beliau tidak menentang gaya hidup dengan karpet, sandaran dan korden serta kehidupan umum yang kalian lihat dalam kehidupan 90 persen dari bangsa Iran.
Orang-orang harus tahu bahwa kehidupan Imam Khomeini tidak berbeda dengan kehidupan masyarakat umum. Rumah tangga dengan kasih sayang dan kesederhanaan. Jangan berpikir bahwa kehidupan kami bisa dibandingkan dengan mereka yang dulunya sebagai pemimpin negara. Kehidupan kami adalah kehidupan yang ada selama ini dan mungkin mayoritas masyarakat telah melihatnya. Tidak ada bedanya sama sekali dengan sebelumnya, baik dari sisi makanan, pakaian dan peralatan rumah tangga.
Bila Anda melihat rumah Imam Khomeini di Qom, Anda akan tahu bahwa setelah saudara kami Haj Agha Mostafa menikah, sebagian dari [pekarangan rumah] yang dulunya sebuah taman yang sangat kecil dibangun menjadi rumah yang luasnya sekitar 50 sampai 70 atau 80 meter. Kemudian karena agak ramai, saudara saya pindah dari rumah itu dan Mashadi Ali yang menempati rumah tersebut.
Saya teringat sebuah kenangan tentang Mashadi Ali, tidak masalah bila saya ceritakan. Sebelum kejadian tahun 1342 Hs suatu hari saya bertanya kepada Imam Khomeini, “Banyak orang di sini. Bagaimana Anda bisa begitu sayang kepada Mashadi Ali?” Imam berkata:
“Ketika aku bangun malam, dia selalu sibuk shalat malam dan berdoa serta bermunajat kepada Allah. Saya sangat menyukainya.”
Apakah Imam Khomeini memiliki cara tertentu dalam memilih pasangan hidup untuk anak-anaknya?
Dalam memilih pasangan hidup baik untuk anak perempuan maupun anak lelakinya, beliau sangat menekankan keluarganya yakni keluarganya harus diterima oleh Imam. Yakni beliau mengatakan:
“Keluarga-keluarga harus sejalan dan sesuai serta mukmin dan komitmen.”
Seorang yang beragama yang terkenal akan menjaga aturan-aturan akhlak dan Islam demi menjaga dirinya.
Terkait dengan para menantu lelakinya, bagi beliau sekadar mampu mengelola kehidupannya sudah cukup. Bagi beliau harta tidak penting. Imam menekankan, ketika seorang anak perempuan sudah mencapai usia taklif dan berakal serta rela untuk menikah, maka ia harus menikah dengan keridhaan ayah dan ibunya. Siapa saja yang datang melamar, yang menjadi syarat adalah pendapat anak perempuan. Sebagai contoh:
“Orang ini adalah orang yang baik dan menjadi kebaikan untukmu.”
Anak perempuan juga menerima. Tapi bila dalam sebagian masalah anak perempuan mengatakan ‘tidak’ maka Imam juga akan menolaknya. Bila Imam sejak awal tidak menerima, maka tidak akan menyampaikannya kepada anak perempuannya. Terkait masalah ini, saya dan saudara-saudara perempuan saya mempercayai sepenuhnya pendapat dan penentuan beliau. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada beliau.
Terkait acara pernikahan anak-anaknya, selain acara akad nikah, beliau juga menyelenggarakan resepsi [untuk mereka]. Tentunya sangat sederhana dan biasa. Untuk cucu-cucunya, karena setelah revolusi, menyelenggarakan dengan sangat sederhana. Tentunya beliau juga memberikan jahiziyeh [perabot rumah dari pihak pengantin perempuan] untuk anak perempuannya. Tapi jahiziyeh sebatas yang diperlukan dan sangat biasa. Jahiziyeh zaman kami yang disebut sebatas keperluan yakni berupa sebuah karpet, dua buah kasur dan sedikit perabot lainnya. Tentunya pada masa itu jahiziyeh tidak terlalu menjadi tradisi.
Beliau menekankan anak perempuan harus ada maharnya. Itu juga dalam batas umum sebuah keluarga biasa. Oleh karena itu, semua anak-anak perempuannya juga punya mahar sekaligus sedikit jahiziyeh.
Imam Khomeini sendiri yang mengenal keluarga-keluarga itu ataukah orang lain yang mengenalkannya?
Terkait menantu lelakinya, ketika mereka datang melamar, bila mereka diterima, maka Imam Khomeini melakukan penelitian terkait mereka. Dua orang dari menantunya bukan ruhani tapi keluarga mereka yakni ayah keduanya adalah ruhani. Hanya Agha Eshraghi saja yang ruhani. Imam Khomeini juga mengenal keluarga menantu perempuannya. Karena keduanya dari keluarga ruhani. Yang satu adalah cucu Agha Haj Abdolkareem, yakni putrinya Agha Morteza Hairi dan satunya lagi putrinya Agha Soltani dan cucunya Agha Sadr.
Apakah Imam Khomeini punya pendapat spesifik terkait pernikahan anak-anaknya?
Tidak. Beliau tidak punya pendapat spesifik. Misalnya tentang istri saudara saya [Haj Agha Mostafa] dikatakan bahwa sudah tersebar dan teman-teman juga mengatakan bahwa putri Agha Hairi akan dinikahkan dengan si fulan. Hal ini disampaikan ke Imam Khomeini dan beliau berkata:
“Tidak. Kami tidak mendengar kabar seperti ini.”
Kemudian suatu malam kepada ibu Imam berkata:
“Teman-teman berkata kepada saya, kami mendengar Anda telah menikahkan putri Agha Hairi dengan Agha Mostafa.”
Ibu berkata, “Kata-kata ini di Qom, sudah lama disampaikan kepada kami.” Imam berkata:
Menurutmu bagaimana? Bagaimana kalau kata-kata ini kita jadikan benar dan kita wujudkan kebenarannya?”
Ibu berkata, “Saya tidak tahu...” Imam berkata:
“Engkau sudah pernah melihat anak perempuannya?”
Ibu berkata, “Iya. Saya sudah pernah melihatnya di acara tahlilan Agha Hojjat. Imam Khomeini kemudian menyampaikan ke teman-teman dan besok malamnya pergi dan mengatakan juga ke saudara saya [Haj Mostafa] dan dia juga tidak menolak. Malam itu juga mengirim pesan ke rumah Agha Hairi yang berbunyi:
“Saya bersama dua atau tiga orang teman akan datang ke rumah Anda untuk melamar.”
Agha Hairi juga mengatakan, “Silahkan datang!” Pertama Imam Khomeini dengan beberapa temannya datang ke rumah Agha Hairi. Malam itu juga Agha Hairi sepakat. Kemudian menyiapkan segala urusannya.
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap menantu-menantunya, baik lelaki maupun perempuan?
Sikap beliau sangat hormat dan sangat akrab. Hanya saja karena para menantu lelaki bukan mahram bagi semua anggota keluarga, beliau tidak begitu setuju para menantu lelaki banyak keluar masuk. Untuk itu, ada jarak dengan para menantu lelaki. Karena di dalam rumah ada anak-anak perempuan dan beliau sangat ketat terkait masalah mahram dan non mahram. Zaman dulu seperti zaman kami bukan tradisi para menantu lelaki sejak mulai akad nikah lantas sering datang keluar masuk. Sampai akhir-akhir ini rumah Imam Khomeini terkait dengan para menantu lelaki demikian adanya dimana para menantu datang ke sana dengan cara sangat resmi. Karena anak-anak perempuan dan para cucu sangat bebas keluar masuk ke sana. Para lelaki non mahram lebih jarang keluar masuk.
Apakah anak-anak lelaki Imam Khomeini hidup secara terpisah?
Sebelumnya sudah saya katakan, selama Agha Mostafa masih di Qom, di sebelah halaman rumah Yakhchal Qhazi ada 2 sampai 3 kamar dan ada dinding pemisahnya, dia tinggal di sana. Kemudian pindah dan mengambil rumah secara terpisah. Karena setelah kejadian tahun 42 [1342 Hs] Imam Khomeini mulai sibuk dan banyak keluar masuk, bagian ini sudah menjadi bagian dalam rumah. Tapi secara umum mereka hidup secara terpisah.
Bagaimana akhlak dan perilaku Imam Khomeini terhadap cucu-cucunya baik dari anak perempuan maupun anak lelaki?
Beliau sangat akrab dan penuh kasih sayang kepada cucu-cucunya. Karena mereka masih anak-anak dan sebagian remaja, Imam Khomeini lebih akrab dan lebih sayang pada mereka. Misalnya ketika kami ada di rumah beliau, bagi beliau sulit untuk menyuruh kami mengerjakan sesuatu. Tapi kepada cucu-cucunya misalnya mengatakan, “Penuhi gelas ini dengan air!” atau “Ambilkan obat saya!” atau “Angkat gelas itu!” Alhasil dengan mereka lebih akrab dan lebih dekat. Mereka juga sangat mencintai Imam.
Mohon jelaskan bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap anak-anak yang ada di rumahnya dan apa pesan beliau kepada ayah dan ibunya anak-anak!
Imam Khomeini sangat menyukai anak-anak kecil dan saking senangnya sampai beliau mengatakan:
“Ketika saya masih di Najaf; saat kembali pulang dari Haram saya sangat menyukai anak-anak meski mereka dalam keadaan kotor.”
Anak-anak ini datang mengerubuti dan mengikuti Imam Khomeini sampai di depan pintu rumah. Cucu-cucu Imam Khomeini juga sangat ramai. Kepada putri saya yang mengeluhkan anaknya yang nakal Imam Khomeini berkata:
“Saya siap menukar semua pahala ibadahku dengan pahala yang engkau dapatkan dari bersabar menahan kenakalan Husein.”
Beliau meyakini anak-anak harus bebas sampai mereka besar. Pada saat itu baru ada batasan-batasan untuk mereka. Terkait pendidikan anak beliau mengatakan:
“Besikaplah jujur pada anak-anak supaya mereka juga jujur. Teladan anak adalah ayah dan ibunya. Bila kalian bersikap benar pada anak-anak, maka anak-anak juga akan menjadi orang yang benar. Amalkan setiap ucapan yang kalian sampaikan kepada anak-anak.”
Bagaimana cara Imam Khomeini menyelesaikan perselisihan rumah tangga anak-anaknya?
Jarang terjadi perselisihan. Meskipun terjadi, kami berusaha Imam Khomeini jangan sampai tahu dan masalah ini jangan sampai membuat beliau sedih. Tapi bila beliau mengetahuinya, maka kami dianjurkan untuk bersabar, memaafkan dan rukun. Beliau tidak pernah mencampuri urusan kehidupan anak-anaknya sedikitpun.
Mohon jelaskan kenangan Anda tentang perjuangan Imam Khomeini ra?
Peristiwa ‘15 Khordad’ adalah peristiwa yang menakjubkan. Ketika saat ini kita merenungi kehidupan Imam Khomeini, kita melihat bahwa sepanjang hidupnya Imam Khomeini ra sibuk dengan kegiatan meneliti dan menulis. Sibuk menulis risalah dan buku-buku filsafat serta fikih dan beliau jarang terjun di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum ‘15 Khordad’ setiap kali para pedagang pasar Tehran menemui Ayatullah al-Udzma Boroujerdi untuk meminta imam shalat jamaah, beliau mengatakan, “Kalau Haj Agha Rouhullah mau menerima menjadi imam shalat di masjid tersebut, beliau merupakan yang terbaik.” Tapi ketika mereka datang menemui Imam Khomeini, beliau tidak menerima dan berkata:
“Saya ingin menjadi talabeh [santri] dan belajar serta mengajar.”
Kemudian, para ustad lain yang didatangkan untuk menjadi imam shalat jamaah ini. Namun ketika beliau merasa berkewajiban; harus bangkit melawan kezaliman dan terjun ke lapangan, kami melihat beliau siap untuk berjuang. Di saat itulah sikap menyendiri, meneliti dan menulis buku dikesampingkannya. Pada tahun 1342 Hs di hari Asyura beliau telah menyampaikan pidato bersejarah. Beliau ikut serta dalam semua acara duka Imam Husein as selama sepuluh hari di bulan Muharam dan hari Asyura di Qom. Sejumlah orang dari sahabatnya mengajak masyarakat untuk ikut hadir dalam acara sore hari Asyura di pelataran Makam Sayidah Fathimah Maksumah as dan waktu itu Imam Khomeini yang berpidato. Di sini Imam Khomeini tahu bahwa beliau harus dekat dengan masyarakat dan mengajak masyarakat untuk mendengarkan pidatonya dan beliau sendiri harus terjun ke dalam kumpulan masyarakat. Setiap malam setelah shalat maghrib dan isya beliau mengelilingi kota Qom dan mengunjungi masjid-masjid dan tempat-tempat acara duka.
Saya sendiri pada sore hari Asyura mendengar suara takbir di luar rumah. Saya membuka pintu gerbang dan melihat beliau duduk di atas mobil terbuka dan dua orang berdiri memegang bendara dan massa berjalan mengikuti beliau. Imam Khomeini dari rumah dibawa ke madrasah Feiziyeh. Pelataran Haram [makam Sayidah Fathimah Maksumah as] dan jalan-jalan sekitarnya penuh dengan kehadiran massa.
12 Muharam, bertepatan 15 Khordad tahun 1342 Hs, Imam Khomeini ditangkap dan terjadilah kebangkitan bersejarah masyarakat. Para petugas rezim zalim Shah Pahlevi menyerbu masyarakat dan meneror mereka. Untungnya masyarakat pada waktu itu sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Kalau seandainya mereka belum pulang, tidak jelas tragedi apa yang akan terjadi.
Malam 15 Khordad 1342, Imam Khomeini tidur di halaman dan saat itu para petugas rezim zalim datang. Mereka mendobrak pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah. Imam Khomeini sendiri kepada saya menceritakan:
“Ketika mereka mendobrak pintu, saya tahu bahwa mereka datang untuk menangkap saya. Langsung saya berkata kepada ibu [mu], Engkau jangan berbicara apa-apa. Silahkan masuk kamar. Saya melihat mereka datang masuk ke dalam rumah. Boleh jadi salah dan menangkap Mostafa. Oleh karena itu saya berkata, akulah Khomeini. Saya sudah siap dan mereka membawa saya. Karena gang yang ada sempit dan kecil, mereka menaikkan saya ke dalam mobil kecil dan membawa saya sampai ke ujung jalan. Di ujung jalan ada mobil sangat besar berhenti. Mereka menaikkan saya ke dalam mobil besar itu dan bergerak. Ada seseorang duduk di samping saya dan sejak awal sampai akhir ia meletakkan kepala di samping tangan saya dan bersandar ke lengan saya sambil menangis. Satu orang lagi duduk di sebelah saya dan senantiasa menciumi pundak saya. Di tengah perjalanan saya bilang, saya belum shalat. Hentikan mobil ini di satu tempat sehingga saya bisa berwudhu. Mereka menjawab, “Kami tidak punya izin.” Saya katakan, “Kalian bersenjata, sementara saya tidak punya senjata. Apalagi kalian semua bersama-sama dan saya sendirian, saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Mereka berkata, “Kami tidak punya izin.” Saya tahu tidak ada faedahnya dan mereka tidak mau menghentikan [mobil]. Saya katakan, “Paling tidak berhentilah sehingga saya bertayammum. Mereka mau mendengarkan dan menghentikan mobil. Tapi mereka tidak mengizinkan saya turun [dari mobil]. Sambil duduk di dalam mobil saya membungkuk dan meletakkan tangan ke tanah bertayammum. Shalat yang saya lakukan waktu itu membelakangi kiblat. Karena kami pergi dari Qom menuju Tehran dan Kiblat berada di arah selatan. Shalat dengan tayammum dan membelakangi kiblat dan mobil dalam keadaan berjalan! Begitulah saya mengerjakan shalat Subuhku. Mungkin dengan dua rokaat shalat inilah saya mendapatkan keridhaan Allah.”
Imam ditangkap, masyarakatpun bangkit. Selama beberapa bulan saat Imam Khomeini berada di penjara, perlawanan masyarakat, demonstrasi dan kekacauan kota serta pertemuan-pertemuan para ulama tetap berlanjut. Sampai akhirnya Imam Khomeini dipindahkan ke Qeitariyeh dan berada di dalam tahanan rumah. Kemudian dibebaskan dan kembali pulang ke Qom. Setelah sekitar tujuh-delapan bulan beliau bebas dan berpidato tentang Kapitulasi, Imam Khomeini langsung diasingkan ke Turki dan di sana tinggal selama satu tahun, kemudian beliau dipindahkan ke Irak. Perjuangan Imam Khomeini tetap berlanjut sampai pada tahun 1356 Hs yang berujung pada syahadahnya Haj Agha Mostafa dan perjuangan masyarakat mencapai puncaknya. Setelah adanya penghinaan terhadap Imam Khomeini di koran, perlawanan masyarakat semakin meningkat dan berujung pada kemenangan revolusi.
Mengapa sebelum tahun 1342 Imam Khomeini sibuk melakukan penelitian dan mengajar dan sampai saat itu tidak bangkit?
Saya kira karena adanya sejumlah alasan sehingga menjadi sebab bagi masalah ini. Mungkin beliau merasa bahwa ada orang-orang dimana mereka inilah yang harus bangkit atau beliau melihat bahwa tidak ada kesiapan dalam masyarakat. Sehingga sarana dalam masyarakat harus disiapkan terlebih dahulu dan sejumlah orang harus menyiapkan mereka. Mungkin hal-hal ini membuat Imam Khomeini berpikir bahwa kondisinya belum tepat untuk masalah ini. Beliau lebih tahu kapan harus menjalankan kewajibannya. Antara tahun 1342 sampai 1357 masyarakat telah mencapai pertumbuhan pemikiran dan ini memiliki pengaruh langsung kepada sekelompok orang dan pengaruh tidak langsung kepada sekelompok lainnya. Sehingga bisa membuat revolusi berhasil. Selama 15 tahun itu anak-anak 15 Khordad 1342 sudah besar dan para ibu mereka menceritakan kejadian-kejadian yang ada pada mereka dan mereka inilah yang berjuang pada tahun 1357.
Kalau bisa, mohon jelaskan lebih banyak tentang kenangan tahun-tahun 1342 dan setelahnya dan hari-hari perjuangan!
Semua toko pada waktu itu tutup. Terjadi liburan secara umum dan tidak bisa ditemukan apa-apa. Mereka [pemerintah] mempersulit masyarakat. Saat itu kami masih remaja dan masih sangat muda.
Kami semua di rumah sedih, tapi beliau berpesan kepada kami semua, “Jangan menampakkan kelemahan, jangan menangis, kalian semua harus bertahan, jangan berbicara.” Kamipun kokoh dan duduk.
Pada sore hari kami melihat pintu gerbang terbuka dan ada seseorang mengantarkan beberapa lembar roti. Satu orang lagi membawa satu poci susu. Saya bergumam, “Karena toko-toko pada tutup, mungkin saja mereka tidak bisa mendapatkan sesuatu.” Tentunya di rumah ada sedikit bahan makanan tapi masyarakat membawakan dan menangis. Mereka mengatakan, “Mereka ini seperti keluarga Ahlul Bait.” Kami sungguh sedih tapi tidak menampakkannya.”
Pada masa itu saya berusia sekitar dua puluh tahun. Masih muda. Ketika pesawat tempur datang dan terbang sangat rendah, masyarakat ketakutan dan pingsan. Tapi kami tidak takut. Ibu-ibu yang datang untuk menghibur kami juga pingsan dan kamipun berusaha menyadarkan kembali mereka. Semua pemilik toko melakukan pemogokan dan semua buah-buahan rusak di dalam toko. Hanya tukang pembuat roti saja yang aktif mulai dari subuh dan membuat roti demi masyarakat. Begitu mulai ramai orang di jalan, mereka menutup toko-tokonya. Setelah seminggu, saudara saya [Haj Agha Mostafa] dan kebanyakan ulama mengumumkan agar masyarakat membuka toko-tokonya karena para pedagang mengalami kerugian besar. Setelah pengumuman itu masyarakat mulai membuka toko-tokonya kembali.
Imam Khomeini berkata:
“Saya tidak tahu kondisi yang ada karena mereka selalu memindah-mindahkan tempatku. Dalam minggu pertama jendela dan pintu penjara hanya dibuka sekali dan ditutup kembali. Saya mendengar masyarakat menyuarakan slogan, “Mati saja atau Khomeini saja”
Di tengah-tengah masyarakat tersebar desas-desus bahwa Imam Khomeini telah dibunuh. Untuk meyakinkan masyarakat bahwa Imam Khomeini masih hidup, pemerintah zalim [Shah Pahlevi] mengizinkan Ayatullah Khansari untuk menemui Imam Khomeini. Imam Khomeini berkata:
“Beliau datang sampai ke tengah-tengah ruangan dan menanyakan kondisi sebanyak dua kata kemudian pulang.”
Kemudian Ayatullah Khansari mengumumkan, “Saya telah menemui Agha [Imam Khomeini] dan beliau dalam keadaan sehat.” Masyarakat juga tahu bahwa beliau tidak bohong. Kemudian Imam Khomeini dipindahkan ke penjara Qasr, setelah itu dipindahkan ke Qeitariyeh dan ibu menunggui beliau di sana. Pada waktu itu Imam Khomeini berkata:
“Para pendukungku saat ini masih berada di ayunan.”
Dan kami melihat bahwa pada tahun 1357 ketika beliau kembali, orang-orang yang mendukung kebangkitan beliau dan perjuangan ini mencapai kemenangan adalah para remaja dan pemuda.
Pada masa pengasingan, apakah ada keluarga yang membarengi beliau?
Ibu bersama beliau. Setelah Imam Khomeini diasingkan, saudara tua [Haj Agha Mostafa] juga dipenjara. Setelah dia berada di dalam penjara selama dua bulan, dia juga diasingkan ke Irak dan pergi bersama keluarga. Kami juga setahun sekali atau dua tahun sekali pergi menjenguk beliau. akhir-akhir ini sudah tujuh tahun kami tidak pergi karena mereka mempersulit. Setelah tujuh tahun kami baru bisa pergi, tahun berikutnya Haj Agha Mostafa mencapai syahadah dan kemudian Imam Khomeini datang.
Setelah pengasingan Imam Khomeini, kehidupan bagi kami menjadi sangat datar. Pada musim panas kami pergi ke Irak dan di sana juga hawanya sangat panas. Namun, meski anak-anak kami masih kecil, kami tetap pergi. Saat kami tidak pergi, terkadang sampai kabar kepada kami dan kebanyakan hanya desas-desus bahwa Imam khomeini sakit. Dan kamipun menjadi panik, kemudian mengirim surat. Menelpon juga sangat sulit dan seringnya tidak bisa menelpon. Alhasil kami senantiasa panik dan khawatir dan kemudian ketahuan, ternyata pemerintah yang menyebarkan desas-desus itu.
Mohon jelaskan tentang hubungan Imam Khomeini dengan almarhum Haj Agha Mostafa?
Saudara saya yang syahid ini adalah anak lelaki pertama Imam Khomeini dan dia sangat dicintai oleh ayah dan ibu. Setelah dia, lahir juga anak lelaki dan meninggal dunia saat masih usia dua-tiga tahunan. Putri-putri Imam Khomeini juga terlahir setelah dia [anak kedua] ini. dia [Mostafa] sebagai anak pertama dan sampai beberapa tahun lamanya dia sebagai anak lelaki tunggal yang secara langsung berada di bawah pendidikan Imam Khomeini. Baik dari sisi pelajaran, pendidikan, keluar masuk dan teman-temannya dia diawasi langsung oleh Imam Khomeini. Dia mengenyam pendidikan klasik sampai kelas lima ibtidaiyah, setelah itu, atas dorongan ayah ia belajar di hauzah. Haj Agha Mostafa memakai baju ruhani ketika berusia tujuh belas tahun. Saya masih ingat ketika dia memakai baju ruhani, Imam Khomeini mengundang sejumlah sahabatnya dalam sebuah pertemuan makan siang untuk memberikan semangat kepada Haj Agha Mostafa dan memakaikan amamah [sorban] ke kepala Haj Agha Mostafa. Hal ini bagi kami adalah sebuah kenangan menarik dimana kami melihat dia menyambut para tamu dengan senang dan gembira dengan memakai baju baru. Haj Agha Mostafa punya banyak sahabat dan juga dikagumi oleh mereka. Ini karena sikapnya yang menyenangkan dan keikhlasan serta keakrabannya terhadap mereka. Oleh karena itu mereka selalu mengajak dia ke rumah mereka dan keluar masuk ini berada di bawah pengawasan Imam Khomeini dan beliau tahu mereka ini siapa, kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan. Terkait dengan pelajaran dan diskusinya, Imam Khomeini juga [mengawasinya dengan] serius sehingga jangan sampai terjadi kemandegan, sebagaimana Imam Khomeini sendiri tidak pernah meliburkan pelajarannya dan kami juga masih ingat Imam Khomeini tidak pernah seharipun meliburkan diri dari mengajar. Beliau pergi mengajar pada waktu tertentu dan kembali ke rumah pada waktu tertentu juga. Beliau mengajarkan kepada saudara saya untuk tertib dan serius dalam pelajaran. Setelah melakukan latihan-latihan dalam pendidikan, dalam sebagian pelajaran dia melakukan diskusi dengan Imam Khomeini dan mengajukan pertanyaan.
Pasca tahun 1340 dan selanjutnya dimana Imam Khomeini bangkit melawan rezim Shah Pahlevi, dia sebagai pembantu yang kokoh dan penasihat yang bisa dipercaya bagi Imam Khomeini. Pada tahun 1342 ketika Imam Khomeini ditangkap, Haj Agha Mostafa tanpa keberadaan ayah, menyelesaikan urusan syariat dan politik masyarakat. Itulah mengapa Imam Khomeini benar-benar percaya pada kepandaian dan kecerdasaannya dan menyerahkan berbagai urusan kepadanya. Misalnya ketika kami tinggal di daerah Yakhchal Qazi seringnya ruangan-ruangan penuh dengan tamu dan menunggu beliau menyampaikan pesannya Imam Khomeini dan setiap orang melakukan tugasnya masing-masing. Dengan demikian, Imam Khomeini sangat menghargainya dan mempercayainya secara penuh. Di hari-hari ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, dengan baik tanpa keberadaan Imam Khomeini dia membimbing masyarakat, seakan-akan Imam Khomeini ada di tengah-tengah masyarakat dan jalannya berlanjut. Oleh karena itu, seminggu setelah Imam Khomeini diasingkan, dia juga ditangkap. Setelah dia dibebaskan dari penjara, dia pergi berziarah ke Haram Suci Sayidah Fathimah Maksumah as dan saat kembali ke rumah, masyarakat mendampinginya dan ketika sampai di rumah ada sekitar dua ribu orang yang membarenginya masuk ke dalam rumah. Para petugas rezim Shah Pahlevi yang menyaksikan hal ini, kepadanya berkata, “Anda berjanji akan pergi ke Turki”. Namun dia bermusyawarah dan mengatakan, “Ibu saya tidak rela saya pergi ke Turki. Saya juga tidak melihat ada kebaikan dalam hal ini bagi saya juga bagi masyarakat. Tapi para petugas rezim Shah Pahlevi menangkapnya dan mengasingkannya ke Turki juga dengan upaya pintu rumahnya Imam Khomeini tertutup. Tentunya dalam waktu ini ada para wakil Imam Khomeini, namun setelah satu tahun mereka juga ditangkap dan dipenjara. Saya masih ingat, ketika kami masih kecil, Haj Agha Mostafa setiap subuh membangunkan kami untuk mengerjakan shalat subuh. Meskipun terkadang tepat musim dingin dan hawanya juga dingin, dia membangunkan kami dan membawa kami keluar halaman ke tepi kolam [untuk mengambil wudhu]. Kami membuka mata kami, kami melihat sudah berada di halaman. Kepadanya Imam Khomeini berkata:
“Jangan lakukan hal ini untuk anak-anak. Panggil mereka supaya bangun.”
Dia berkata, “Tidak. Mereka harus segera bangun sehingga mengerjakan shalatnya. Saya masih ingat, suatu malam saya berkata, “Shalat subuh saya telah lewat dan menjadi Qadha.” Dia memaksa saya untuk mengqadha [mengulangi] semua shalat saya hari-hari itu. Kami mendengar dari Imam Khomeini berkata:
“Kapan saja shalat subuh kalian jadi qadha, maka kapan saya kalian ingat, lakukanlah qadhanya.”
Namun dia memaksa saya mengulang kembali shalat zuhur, asar, maghrib dan isya. Ketika Imam Khomeini datang, saya mengaduh kepada beliau dan kepadanya berkata:
“Mengapa Engkau melakukan hal ini? Shalat mereka benar.”
Imam Khomeini sendiri sangat menjaga shalat dan seseorang tidak akan berpikir bahwa di rumah kami ada seseorang yang meninggalkan shalatnya meski satu rakaat. Namun demikian Imam Khomeini sangat menjaga kami.
Imam Khomeini benar-benar serius terkait pada pendidikan Haj Agha Mostafa. Padahal pendidikan kami diserahkan kepada ibu. Beliau sangat menjaga jangan sampai muncul gerakan dan perilaku yang tidak benar. Sebagaimana kejujuran dan kesucian yang beliau miliki, beliau juga mengaplikasikannya terkait pada pendidikan Haj Agha Mosfata.
Sebelum tahun 1342 dan sebelum pernikahan Haj Agha Mostafa, urusan dia di luar rumah ditanggung oleh Imam Khomeini. Tentunya dia juga membantu. Setelah pernikahannya, selama masih hidup bersama kami, urusan belanja juga ada di bawah pengawasan Imam Khomeini dan biasanya pembantu perempuan yang berbelanja. Setelah hidup mandiri dan pisah dari kami, dia sendiri yang mengerjakan pekerjaan di luar rumah dan pekerjaan di dalam rumah dikerjakan oleh keluarganya. Yang membedakan Haj Agha Mostafa dari semua orang sebayanya menurut kami adalah kecerdasannya yang luar biasa.
Ibu mengatakan, “Suatu hari saya masuk ke pelataran Haram Sayidah Fathimah as, saya melihat orang-orang pada ketakutan melihat salah satu sudut Haram. Saya bertanya dan mereka menjawab, seorang anak lelaki berusia 14-15 tahunan berdiri dengan kedua tangannya di atas atap menara. Saya penasaran dan maju, saya melihat ternyata Mostafa. Saya benar-benar takut dan khawatir sampai akhirnya setelah beberapa menit dia turun. Malamnya [ibu] menceritakan kejadian itu kepada Imam Khomeini. Kepadanya Imam Khomeini berkata:
“Dengan keberanian model apa Engkau melakukan hal ini? Tidakkah Engkau berpikir tanganmu terpeleset dan Engkau terlempar ke bawah?”
Dengan yakin dia menjawab, “Saya tidak takut sama sekali. Saya yakin tidak akan jatuh. Namun, remaja yang pemberani ini juga bila ibu kami menunjukkan ketidakrelaannya terkait satu hal, dia akan mengesampingkan hal itu dan tidak akan melakukannya, meski pekerjaan itu disukainya.”
Catatan-catatan buku Agha Mostafa bersama buku-buku Imam Khomeini bahkan kertas-kertas sobek disita oleh SAVAK. Tentunya setelah revolusi, buku-buku Imam itu dikembalikan lagi. Tapi sebagian buku Haj Agha Mostafa tidak ada.
Setelah diasingkannya Imam Khomeini ke Turki, dia juga diasingkan ke sana. [Pengasingan] selama setahun bersama Imam Khomeini benar-benar mempengaruhi jiwanya yang aktif dan ceria dan menjadikan dia sebagai seorang lelaki dewasa, tenang, bijaksana, berpikiran jauh ke depan dan mencintai ayahnya. Di sana [Turki] Imam sibuk menulis buku Tahrir al-Wasilah dan dia juga mensyarahi sebagian buku-buku. Setelah setahun, pemerintah Iran mengajukan perpanjangan kontrak terkait penjagaan Imam Khomeini di pengasingan, namun pemerintah Turki menolak. Para pejabat Turki mengatakan, “Bila sebelumnya kami tahu posisi Imam Khomeini, sejak awal kami tidak akan melakukan hal ini.” Karena dari berbagai penjuru dunia khususnya negara-negara Islam mengirim telegram ke Turki dan menuntut keselamatan beliau. dan presiden Turki baru paham bahwa beliau benar-benar seorang yang dicintai secara luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya terpaksa harus memindahkan beliau dari Turki ke tempat lain. Tapi tidak bisa mengizinkan beliau untuk kembali ke Iran. Karena para pendukung Imam Khomeini akan lebih aktif dari sebelumnya dan akan sibuk menyiapkan sarana sebuah kebangkitan yang besar. Imam Khomeini dinaikkan ke pesawat dan paspor beliau di serahkan dalam pesawat. Ketika pesawat mendarat dan setelah turun dari pesawat mereka tidak melihat seseorang [yang membuntuti] di belakangnya. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka sendirian terpaksa harus mencari jalan keluar untuk dirinya. Bahkan uang Irak juga tidak punya. Di bandara mereka menukarkan uang Turki dengan uang Irak dan pergi ke Kazhimain. Di sana Haj Agha Mostafa menyewa sebuah kamar di losmen yang besih dan meletakkan tas-tasnya di sana. Imam Khomeini pergi ke Haram berziarah dan Haj Agha Mostafa pergi ke warung telepon. Dari sana dia menelpon salah seorang sahabatnya di Najaf yang bernama Syeikh Nasrollah Khalkhali penduduk Rasht dan menceritakan kejadian yang ada. Dia [Syeikh Nasrollah Khalkh] juga mengatakan, “Dalam waktu dua hari kami akan menyediakan sebuah rumah yang sesuai dan sedikit perabotan pokok sehingga beliau bisa masuk ke rumahnya sendiri.” Usaha ini dengan alasan karena dia tahu bahwa Imam Khomeini tidak akan mau tinggal di rumah seseorang. Selain itu Haj Agha Mostafa juga menelpon Karbalai dan menceritakan kejadian yang ada ke salah satu sahabatnya ini. Sudah dijadualkan bahwa Imam Khomeini mau pergi ziarah ke Karbala dan menyusul acara yang akan diselenggarakan untuk menyambut beliau, Imam Khomeini harus ke Najaf. Program dan kesigapan tindakan Haj Mostafa Khomeini karena kecakapan dan pemikiran serta perhatian dia terhadap segala sisi perkara dan kepercayaan yang diberikan Imam Khomeini kepadanya. Imam Khomeini juga menyetujui acara ini. Setelah sehari, beliau pergi ke Karbala. Beliau pergi ke Haram Sayidus Syuhada as dan Haram Sayid Abul Fadhl as di tengah sambutan orang-orang Iran mukim sana dan orang-orang Irak yang mencintai beliau dan juga para ulama. Setelah istirahat sejenak, beliau lantas bergerak menuju ke Najaf. Di sana beliau masuk ke rumahnya dengan disambut oleh para ulama dan para pecintanya.
Dua buah rumah disediakan untuk Imam Khomeini; yang satu seluas 90 meter persegi untuk bagian dalam dan yang lainnya 70 meter persegi untuk bagian luar dan keduanya menyambung.
Haj Agha Mostafa juga menetap di Najaf. Dari sana dia menelpon ke Iran dan berkata, “Imam Khomeini sudah bebas dan berada di Najaf.” Keluarga Imam Khomeini dalam jangka waktu satu sampai dua bulan semuanya pergi menuju ke Irak. Satu-satunya orang yang dilarang oleh pemerintah Iran untuk keluar adalah almarhum Haj Ahmad Khomeini dan dikatakan kepadanya bahwa dia harus menjalani wajib militer.
Haj Agha Mostafa adalah seorang yang mengenal tugasnya dan merasa bertanggung jawab terkait pada orang lain. Seakan-akan ada janji harus membantu masyarakat. Khususnya terkait pada Imam Khomeini, dalam hal ini dia sangat berhati-hati dan dia sangat mencintai Imam dan menjaga beliau. Dia tidak keluar dari Najaf dan tidak membiarkan Imam Khomeini sendirian. Terkadang kepadanya dikatakan, “Anda bisa pergi ke negara-negara lain. Namun dia menjawab, “Islam membutuhkan Agha [Imam Khomeini] dan kami berkewajiban untuk menjaga beliau dan melayaninya.”
Bila -jangan sampai terjadi- Imam Khomeini sakit, maka dia panik dan cemas dan berusaha mendatang dokter terbaik untuk beliau. Dia bersabar menahan panasnya suhu di musim panas demi menjaga Imam Khomeini. Dia tidak pernah meninggalkan rumah sampai dua atau tiga hari, kecuali karena i’tikaf. Dia adalah anak sekaligus teman dan pelindung Imam Khomeini dan benar-benar menjaga kondisi beliau. Khususnya bila ibu sedang bepergian. Dia mewajibkan dirinya untuk tetap di sisi Imam Khomeini. Namun, bila kami datang ke Najaf, dia merasa tenang. Saya masih ingat, dalam safar terakhir yang juga merupakan pertemuan terakhir kami [dengan dia], dia mengatakan, “Kalian ada dan saya juga sangat lelah, saya diundang untuk pergi ke Suriah selama satu bulan.”
Sebelum kepergiannya, kami menyampaikan tanggal berapa kami harus balik ke Iran. Dia juga menetapkan untuk kembali ke Najaf sebelum kepergian kami. Dua hari sebelum kami balik, dia sudah kembali. Kami sangat gembira dan dia mengatakan, “Saya tidak mendapatkan tiket pesawat, karena kepergian kalian sudah dekat, akhirnya saya kembali dengan naik bus.”
Selain karena kecintaanya kepada kami, dia tidak ingin Imam Khomeini merasa sendirian dan datang dengan naik bus selama kurang lebih 22 jam lamanya di perjalanan. Seakan-akan jiwa Imam Khomeini lebih besar dari semua ini bagi dia dan keberadaan atau ketiadaan kami tidak menjadi penentu. Tentunya saya tidak mengatakan dia tidak mencintai kami, tapi tujuan dia lebih tinggi dari semua masalah ini.
Baginya, Imam Khomeini adalah rahbar sekaligus marji dan ayah. Hubungan dia dengan Imam Khomeini sangat akrab. Setiap kali Haj Agha Mostafa masuk ke dalam ruangan, wajah Imam Khomeini berubah dan ini menunjukkan kecintaan Imam Khomeini kepadanya. Satu lagi dalilnya adalah selama lima belas tahun mereka bersama-sama dengan akrab berada di kota asing.
Musuh berpikir bahwa dengan mensyahidkan Haj Agha Mostafa mereka bisa mengeluarkan Imam Khomeini dari kancah perjuangan. Bagi mereka pukulan terampuh terhadap Imam Khomeini adalah mengambil anaknya yang terbaik; anak yang tidak hanya sebagai anak saja tapi juga sebagai teman, sahabat dan penolong dan dalam semua masa kehidupan dan semua perjuangan berada di belakang Imam. Bahkan pasca diasingkannya Imam Khomeini ke Turki dan dia dipaksa untuk diam, dia bertahan dan berkata, “Saya akan melanjutkan jalannya Imam.” Itulah mengapa dia juga diasingkan ke Turki. Mereka berada di Turki selama satu tahun. Kemudian pergi ke Najaf bersama Imam dan selama tiga belas tahun menjalani masa-masa usianya yang paling bagus di sana. Dia mencapai syahadah ketika usia 48 tahun.
Dia dari sisi fikih memiliki derajat yang tinggi dan dia sendiri juga mengajar. Namun dia juga mengikuti kelas pelajaran Imam Khomeini dan termasuk salah satu muridnya yang hebat dan dikatakan bahwa dia adalah satu-satunya murid Imam Khomeini yang mengajukan pertanyaan.
Pasca kedatangan Imam Khomeini dan Haj Agha Mostafa ke Irak, ketika kami sampai ke Najaf dan sibuk bertemu dan berbincang-bincang, pada saat itu pula para petugas pemerintah [Saddam Hossein] menyerbu rumah dan menangkap dia [Haj Agha Mostafa] dan membawanya. Istrinya yang pada masa itu sedang mengandung, karena kesedihan waktu itu, akhirnya mengalami keguguran.
Di masa-masa ketika Imam Khomeini memimpin revolusi dari Najaf, dia adalah sahabat dan penolong serta teman kerja bagi Imam Khomeini. Dia benar-benar menghormati Imam Khomeini dan sekalipun usianya sudah dewasa dan mencapai derajat ijtihad, dia sungguh menaati Imam Khomeini dan mendahulukan kenyamanan beliau daripada untuk dirinya sendiri. Terkadang kami menyaksikan kondisi Imam Khomeini benar-benar kritis karena perjuangan dan tirakat. Beliau sangat mencintai Imam Khomeini karena keberadaan Imam sangat penting untuk memimpin revolusi. Imam Khomeini senantiasa berkata:
“Berusahalah melakukan pekerjaan-pekerjaan mustahab jauh dari pandangan masyarakat dan lakukan dalam kesendirian sehingga jangan sampai riya merasuk ke dalamnya.”
Itulah mengapa Haj Agha Mostafa senantiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan mustahab di dalam kamar dan pintunya tertutup. Tapi terkadang kami mendengar dari pembantunya atau istrinya mengatakan, misalnya di pertengahan malam lampu kamarnya menyala dan sibuk beribadah dan kami bisa mengetahuinya dari jidatnya yang menghitam karena lamanya bersujud.
Sebelum revolusi, shalat Jumat secara keseluruhan tidak diselenggarakan. Namun dia selalu shalat berjamaah mengikuti Imam Khomeini. Dari tahun 1342 dan selanjutnya, dia shalat jamaah mengikuti Imam Khomeini di rumah, kemudian setelah datang ke Najaf, melakukan shalat jamaah bersama Imam di masjid. Selama bulan Ramadhan dia berpuasa dan bila suatu waktu harus melakukan bepergian beliau tidak berpuasa dan mengqadha puasa [yang ditinggalkannya] tersebut. Saya masih ingat, suatu malam kami membangunkannya untuk makan sahur. Ketika dia keluar dari kamar, karena terkena gas beracun arang [sebagai pemanas] dia pingsan dan jatuh di tengah-tengah ruangan. Malam itu kami sangat ketakutan dan Imam Khomeini khawatir. Kemudian setelah dia sadar kembali, Imam Khomeini berkata:
“Tidak baik bagimu besok berpuasa, lakukan saja qadhanya setelah Ramadhan.”
Dalam kondisi semacam ini, padahal dia tidak berpuasa, sikapnya sedemikian rupa sehingga seakan-akan dia berpuasa karena untuk menjaga kehormatan bulan Ramadhan.
Haj Agha Mostafa telah menetapkan Imam Khomeini sebagai wakilnya, seakan-akan dia tahu kalau bakal meninggal dunia terlebih dahulu. Padahal kebanyakan orang menjadikan putranya sebagai wakilnya. Dia telah menetapkan ayahnya sebagai wakilnya. Mengingat dia benar-benar hidup sederhana dan tidak menumpuk-numpuk harta kekayaan, dalam wasiatnya menulis, “Saya tidak memiliki apa-apa sehingga harus berbicara tentangnya, kecuali gajih pembantu rumah yang terlambat diyar selama dua bulan, bayari dia!”
Jenazah Haj Agha Mostafa dibawa ke Karbala dan dimandikan di sungai Furat dan kemudian dibawa kembali ke Najaf. Di sana [Najaf] jenazahnya dimakamkan dengan dihadiri oleh semua ulama juga Imam Khomeini. Imam Khomeini setiap malam mendatangi rumahnya dan setelah menjenguk istri almarhum [Haj Mostafa], beliau kembali ke rumahnya sendiri. Setelah lewat satu minggu beliau mulai mengajar kembali dan berkata:
“Mostafa adalah harapan Islam di masa depan.”
Kemudian berkata:
“Kematian Mostafa merupakan anugerah ilahi yang tersembunyi.”
Dan kenyataannya memang demikian. Setelah empat puluh harinya, gerakan revolusi semakin laju dan puncaknya adalah kehancuran rezim Pahlevi dan ini adalah salah satu ilham ilahi kepada Imam Khomeini dimana beliau menyaksikan anugerah semacam ini di hari itu.
_____________________________
Dikutip dari penuturan Farideh Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh.
(IRIB-Indonesia/Emi-Nur-Hayati/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar