Sorot Balik Isu Nuklir Iran: Aliansi Geostrategis Iran-Rusia-China dan Kerjasama Indonesia-Iran?


Oleh: La Ode Zulfikar Toresano

Tanya:

Meski ada klaim bahwa Amerika Serikat dan empat negara anggota tetap Dewan Kemanan PBB lainnya (Inggris, China, Perancis, dan Rusia), plus Jerman, mendesak DK PBB --- yang beranggotakan 15 negara --- agar menjatuhkan “sanksi” baru (sanksi keempat) kepada Iran karena tak memenuhi tenggat yang telah ditetapkan untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya, namun diperkirakan hanya empat dari enam negara itu yang kembali mendesak Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar menjatuhkan sanksi baru kepada Iran. Dalam hal ini, Rusia dan China kemungkinan menolak desakan itu. Menurut Anda, selama ini apa yang melatari kedua negara tersebut seakan membela kepentingan Iran di fora internasional, meskipun keduanya turut menandatangani pengesahan resolusi-resolusi PBB (DK PBB) terkait dengan sanksi atas Iran (sebagaimana diketahui, meskipun menurut Indonesia, sanksi ketiga DK PBB --- yang tertuang dalam Resolusi 1803 tertanggal 3 Maret 2008 --- itu didominasi penggambaran sepihak oleh negara-negara yang memojokkan Iran, tetapi Rusia dan China juga mengesahkan resolusi tersebut). Atau, adakah motif kepentingan dan potensi ancaman bersama (Rusia-China di satu pihak, dan Iran di lain pihak) yang dijadikan pijakan kokoh bagi Rusia dan China dalam pengambilan kebijakan tersebut?

Kemudian, jika selama ini, Iran sudah berulang kali menyatakan bahwa pengembangan reaktor nuklirnya ditujukan untuk maksud-maksud damai (kepentingan sipil) --- dan bahwa hasil investigasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) juga tidak menemukan bukti-bukti pengembangan senjata nuklir di istalasi-instalasi nuklir Iran --- mengapa pemerintah Iran tidak langsung saja menjawab tudingan yang terus memojokkan itu melalui aksi konkret dengan melakukan sejumlah kerjasama untuk pengembangan non-militer yang menggunakan teknologi nuklir.

Dengan Indonesia --- melalui Badan Tenaga Atom Nasional / BATAN --- misalnya, Iran bisa melakukan kerjasama pengembangan tanaman pangan pokok, sumber air bersih, dan kesehatan (untuk mengatasi berbagai kasus penyakit, baik endemik maupun degeneratif) yang semuanya menggunakan ”Teknik Iradiasi Nuklir”. Dalam hubungan ini, sekadar informasi, BATAN telah melakukan sejumlah riset dan pengembangan teknik iradiasi pada tanaman padi, kedelai, dan gandum, sehingga menghasilkan varietas unggul. Dan itu merupakan bagian dari program jangka panjang BATAN selama 20 tahun ke depan sejak tahun 2005. Bukankah gandum juga banyak dibudidayakan para petani Iran?

Hingga tahun 2025, kegiatan penelitian dan pengembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nuklir di Indonesia masih akan terfokus pada food, energy, water, and health (FEW + H). Terkait dengan itu, untuk menjawab tekanan-tekanan internasional dalam proyek nuklir yang dikembangkannya, bukankah sebaiknya Iran lebih memprioritaskan untuk membuktikan diri melalui kerjasama langsung riset dan pengembangan nuklir (yang difokuskan pada FEW + H) dengan Indonesia, misalnya. Dan bukankah keberhasilan kerjasama Iran-Indonesia dalam bidang nuklir itu akan menjadi argumen konkret bahwa pengembangan nuklir Iran lebih diarahkan untuk kepentingan sipil atau peningkatan kesejahteraan manusia.

Bila itu berhasil, apakah bisa otomatis menjadi modal dasar bagi Iran untuk melebarkan kerjasama serupa dengan negara-negara berkembang lainnya, sehingga semua alasan yang dicari-cari untuk memojokkannya --- terkait dengan masalah nuklir --- dengan sendirinya akan tertepis.

Dalam hubungan itu pula, kita salut terhadap protes tegas beberapa anggota DPR-RI --- salah satunya adalah Bung Yuddy Chrisnandi --- atas sikap pemerintah Indonesia yang menyetujui pengesahan Resolusi 1747 DK PBB (2007) mengenai sanksi atas Iran terkait dengan proyek pengembangan nuklirnya. Tetapi, ada kesan bahwa para anggota DPR itu lebih didorong oleh motif politik mengingat pengesahan resolusi tersebut juga banyak ditentang oleh masyarakat luas di dalam negeri. Jika para anggota DPR itu benar-benar tulus berpihak pada aspirasi rakyat, maka ketidaksetujuan mereka tidak sekadar dilontarkan melalui protes, tetapi juga menekan pemerintah RI untuk membantu Iran dengan jalan mengarahkan penguatan perealisasian program kegiatan penelitian dan pengembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nuklir BATAN yang telah ditetapkan terfokus pada food, energy, water, and health (FEW + H). Maksud kami, jika pengimplementasian program yang telah dicanangkan itu kurang optimal, maka --- bersamaan dengan protes keras mereka atas Resolusi 1747 DK PBB --- mengapa para anggota DPR itu tidak menggunakan “Hak Pengawasan” yang dimilikinya untuk mengoptimalkan implementasi program riset dan pengembangan nuklir, khususnya yang dilakukan oleh BATAN. Bukankah mereka bisa mendorong BATAN untuk melakukan kerjasama pengembangan nuklir dengan Iran yang terfokus pada FEW + H, sehingga: (1) kesejahteraan rakyat di dua negara bisa meningkat; dan (2) sekaligus membantu pembuktian bahwa proyek nuklir Iran benar-benar diprogramkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut kami, bila beberapa anggota DPR tersebut mengambil langkah seperti yang kami maksudkan, berarti mereka menempuh langkah progresif dalam mengimplementasikan amanat Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya adalah “ikut menjaga ketertiban dunia”. Sehingga anggapan bahwa langkah mereka lebih bersifat reaktif atas sangsi yang dikenakan kepada Iran akan bisa tertepis dengan sendirinya.

Kendati demikian, tindakan mereka patut diacungi jempol, setidaknya bila dibandingkan dengan para anggota DPR yang cuek terhadap masalah tersebut.


Jawaban:

Tentu saja motif kepentingan dan potensi ancaman bersama bukan sekadar harus dijadikan premis mayor untuk memudahkan pemahaman dalam menyoroti masalah tersebut, tetapi bahkan ia sudah merupakan realitas obyektif. Bukankah Imam Ali karamallahuwajhah (seorang kader ideologis tauhidi Baginda Rasulullah Muhammad SAW), dalam kitab Nahjul Balagha, mengatakan: “Teman dari musuh kamu adalah musuh kamu, dan musuh dari musuh kamu adalah teman kamu”?

Terkait dengan desakan anggota tetap DK PBB, seperti disebutkan di atas, pada tanggal 23 Juni 2008 Uni Eropa (UE) pun sepakat memberlakukan sanksi baru, seperti pembekuan aset bank terbesar Iran (Bank Melli), dan pelarangannya untuk beroperasi di wilayah Eropa. Tidak puas dengan umbaran hawa nafsunya itu, negara-negara anggota UE juga semakin mempertontonkan auratnya dengan menambah daftar larangan bepergian untuk 20 tokoh dan 15 organisasi Iran. Lebih gila lagi, semua aset ke-20 orang dan ke-15 organisasi itu juga akan dibekukan. Bukankah ini identik dengan legalisasi perampokan yang ditransformasikan dari bentuk individual ala Robinhood menjadi terinstitusi dalam sebuah format kerjasama internasional?

Bersyukurlah, Indonesia memutuskan abstain dalam menyikapi Resolusi 1803 DK PBB (3 Maret 2008); dan semoga itu bukan sekadar respons atas tekanan-tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri (termasuk sebagian anggota DPR) yang mempersoalkan sikap pemerintah Indonesia karena menyetujui pengesahan Resolusi 1747 DK PBB (2007) yang meminta Iran untuk transparan dan bekerjasama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terkait dengan pengayaan nuklirnya (nuclear enrichment).

Sesungguhnya, implementasi dari politik luar negeri bebas aktif --- yang dianut Indonesia --- tidak semata antara lain terpasung pada upaya menambah modal diplomasi guna meningkatkan kinerja politik luar negeri, tetapi yang terpenting bagaimana Indonesia konsisten memperjuangkan tata dunia yang berkeadilan, tertib, dan damai sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Terhadap sanksi yang dikeluarkan Uni Eropa (23 / 6 / 2008) itu, sang waktu akan mencatatnya sebagai bahan olok-olok, sebab sejauh ini tidak satu pun pemimpin politik Iran yang terkena dampak sanksi UE itu (termasuk Resolusi 1747 DK PBB). Menurut saya, di era keterbukaan ini, sanksi-sanksi ala seorang ibu tiri kejam tidak ubahnya seperti mengeluarkan (maaf) kentut yang gas pollutant-nya begitu mudah bersenyawa ditelan udara.

Salah satu dampak dari keterbukaan yang berkorelasi besar terhadap sanksi-sanksi DK PBB tersebut adalah semakin tidak efektifnya pengimplementasiannya. Government Accountibility Office (GAO), sebuah organisasi non partisan AS, pada Selasa 15 Januari 2008 mengungkapkan bahwa, “Ikatan perdagangan global Iran dan peran utamanya sebagai penghasil energi membuat AS sulit mengisolasi Iran”. Kemudian, bukankah --- baru-baru ini --- sebuah media massa Ibu Kota (Jakarta) juga mengangkat tentang produk-produk elektronik dan teknologi informasi, dari negara-negara Barat, yang bebas diperdagangkan di pasar-pasar Iran? Lalu, mengapa pula semua agenda pemboikotan atas Iran sejak kemenangan Revolusi Islam-nya (1979) tidak satu pun yang berhasil efektif?

***

DARI perspektif Islam diajarkan agar dalam hidup ini yang terpenting adalah menjalankan “fitrah” (QS 30 : 30), dan bahwa siapa pun yang menentangnya pasti akan menemui jalan buntu, bahkan kegilaan (entah jenis gila yang mana dari sekian ratus jenis penyakit gila yang dikenal dalam dunia medis).

***

KEMBALI kepada pertanyaan Anda, dalam ukuran-ukuran tertentu, China dan Rusia memiliki kepentingan yang sama dengan Iran, baik dari perspektif politik-militer (geopolitik) maupun kepentingan ekonomi. Tentu saja Rusia meraup manfaat ekonomi yang sangat signifikan dari transfer teknologi kepada Iran. Suatu hal yang sangat enggan dilakukan oleh Barat karena otak besar dan otak kecilnya sudah terkontaminasi kecurigaan ideologis (atas Iran). Apalagi pasca bubarnya Uni Soviet banyak sekali insinyur di bekas negara beruang merah itu yang menganggur dan kelimpungan mencari pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga mereka.

Sementara itu, pasca bubarnya Uni Soviet, Rusia juga semakin mencurigai Amerika Serikat karena negeri yang dengan pongah mengklaim diri sebagai polisi dunia ini semakin bernafsu menancapkan cakar (hitam dekil) pengaruhnya ke negara-gara bekas Uni Soviet, terutama yang memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat melimpah, seperti di sekitar Laut Kaspia dan Trans Kaukasus. Mantan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev --- yang juga pencetus glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) serta peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1990 --- misalnya, dalam televisi CNN, mengungkapkan ketidaksangsiannya bahwa AS mendukung Georgia dalam memprovokasi pertempuran dengan Rusia belum lama ini. Bahkan dalam Harian The Guardian, Rabu 13 Agustus 2008, ia mengatakan AS telah melatih tentara Georgia dan mendukung keinginan Georgia untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Kecurigaan terhadap AS itu semakin menggumpal menyusul pernyataan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice yang memberi dukungan terhadap pembentukan Komisi NATO-Georgia yang bersifat permanen untuk memperkuat hubungan antara Barat dan Georgia (Kompas, 20 / 8 / 2008).

Lebih dari itu, bukankah di Warsawa, Polandia (salah satu negara di Eropa Timur yang dulu pernah mempraktikkan ideologi sosialis) --- pada Rabu 22 Agustus 2008 --- AS juga telah memprovokasi Rusia dengan meresmikan kesepakatan sistem pertahanan rudal dengan Polandia. Masuk akal bila Rusia gerah dengan kesepakatan yang ditandatangani Menlu AS Condoleezza Rice dan Menlu Polandia Radek Sikorski itu karena diduga kuat sistem rudal tersebut diarahkan ke Rusia.

Memang, Georgia tidak menghasilkan minyak mentah, tetapi negeri itu menjadi titik strategis pengapalan atau ekspor minyak dan gas (melalui pelabuhan: Supsa, Batumi, dan Poti) dari Azerbaijan ke Eropa. Sebagai akibatnya, pertempuran dan ancaman Rusia untuk memblokade pasokan minyak dari Georgia membuat harga minyak dunia kembali terkatrol mendekati 117 dollar per barrel. Pasar minyak Asia di Singapura pun mengalami kenaikan harga 1 dollar (AS) lebih per barrel.

Presiden Georgia Lado Gurgenidze mengakui pesawat-pesawat tempur Rusia melancarkan serangan di dekat jalur pipa minyak nomor dua terpanjang di dunia (1.768 kilometer) yang membentang dari Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) itu. Beruntung AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak menurunkan langsung pasukannya untuk membantu Georgia, karena seandainya itu terjadi, bukan tidak mungkin akan terjadi badai api konflik bersenjata yang akan memutuskan jaringan pipa Druzhba --- terpanjang nomor satu di dunia (4.000 km) --- yang membentang dari Rusia tenggara ke Jerman, Eropa Barat.

Bukan itu saja, meski tidak secara aklamasi, NATO kemudian memperbaiki hubungannya dengan Rusia (Kompas, 5 / 12 / 2008) yang dibekukan akibat serangan Rusia ke Georgia. Ini juga disertai dengan tidak diberikannya kerangka waktu yang jelas kepada Georgia dan Ukraina untuk menjadi anggota NATO. Agaknya, NATO menyadari betapa persekutuan dengan dua negara pecahan Uni Soviet itu berisiko besar dan bereskalase dunia.

Dalam hubungan itu, menyusul kunjungan Presiden Rusia Dmitry Medvenev ke sejumlah negara Amerika Latin --- termasuk yang sangat anti AS --- belum lama ini, meski tidak secara tegas mengirimkan sinyal kemungkinan dihidupkannya kembali “Perang Dingin” --- sebelum bubarnya Uni Soviet --- namun langkah pengiriman sebuah skuadron (terdiri dari tiga kapal) penjelajah Rusia bertenaga nuklir, Pyotr Veliky (Peter Agung), untuk latihan perang bersama Angkatan Laut Venezuala (tiba di Venezuela, Selasa pagi, 25 / 11 / 2008) --- pastilah menjadi pertimbangan tersendiri bagi NATO untuk kembali merajut hubungan dengan Rusia. Apalagi, pengasingan Rusia dalam pergaulan dunia hanya akan mengentalkan hubungannya dengan Iran (dan juga Suriah), yang justru tidak dikehendaki oleh AS terutama karena akan dapat mengubah secara signifikan peta geopolitik di kawasan Timur Tengah. Dan bukan tidak mungkin, di masa datang, Iran dan Rusia akan berkolaborasi memanfaatkan kekayaan cadangan minyak dan gas di Laut Kaspia sebagai kekuatan tawar (bargaining power) bersama dalam percaturan politik dunia. Bukankah politic is the art of possible (politik adalah seni meramu kemungkinan)?

Sayang sekali, melunaknya sikap NATO itu kurang sejalan dengan kebijakan AS yang melakukan uji coba senjata pencegat rudal (untuk yang ke-13 kalinya sejak 1999) pada tanggal 5 Desember 2008 (diluncurkan dari pangkalan Angkatan Udara Vandenberg, California, dengan rudal yang menjadi sasaran diluncurkan dari Pulau Kodiak, Alaska), yang sistemnya direncanakan untuk dikerahkan di Eropa Timur. Meski Pentagon beralasan bahwa uji coba itu adalah untuk menangkal senjata Iran dan Korea Utara, namun para analis militer menilai, ia ditujukan untuk menghadang rudal canggih dari Rusia, terutama untuk melindungi negara-negara eks Blok Timur yang kini lebih condong ke Barat.

Sebagaimana diketahui, pada Senin 1 Desember 2008, Rusia mulai memproduksi rudal antarbenua generasi baru, dan sebelumnya melakukan uji coba peluncuran rudal Bulava atau SS-NX-30, yakni rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam dan dapat membawa hulu ledak nuklir dengan jangkauan lebih dari 8000 kilometer. Disebutkan, Bulava --- yang panjangnya 12 meter itu --- dirancang berdasarkan misil jenis Topol-M yang sedianya selesai diuji coba dua tahun lalu. Kecanggihan dari rudal Bulava tersebut antara lain tercermin dari pernyataan PM Vladimir Putin bahwa ia bisa menembus perisai anti rudal yang akan dibangun Pemerintah AS di Polandia dan Ceska.

Atas dasar lanskap pergelaran senjata rudal dua kekuatan dunia tersebut, bukankah itu dapat dipandang berpotensi untuk dimulainya lagi kebijakan perlombaan senjata (Perang Dingin) seperti yang pernah berlangsung di masa lalu? Apalagi PM Vladimir Putin meresponi kebijakan uji coba senjata pencegat rudal itu dengan menyatakan,”Jika AS tetap bersikeras, upaya pembalasan akan tetap dilakukan. Rusia akan memajang rudal-rudal di Kaliningrad, dekat Polandia.”

Lalu, apa makna penegasan Putin sebelumnya pada hari Kamis, 4 Desember 2008, dalam sesi tanya jawab di televisi dengan rakyat Rusia: “Kami sangat berharap perubahan (atas terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS) yang terjadi akan positif dan kami saat ini melihat adanya sinyal positif.”

Penegasan Putin itu semakin hambar dengan adanya pernyataan Dennis McDonough, salah seorang penasehat kebijakan luar negeri presiden terpilih AS, Barack Obama, bahwa Obama tertarik dengan program senjata pencegat rudal tersebut (Kompas, 7 / 12 / 2008).

***

KENDATI demikian, dengan melihat dari kesamaan ancaman bersama, yakni Amerika Serikat, belum lagi jika dianalisis dari perspektif geostrategis, misalnya bantuan kerjasama Rusia untuk memperkuat peran Angkatan Laut Iran yang berpangkalan di Pulau Abu Musa --- yang terletak di jalur strategis Selat Hormuz (Teluk Persia), tempat di mana 40 persen minyak dunia dilewatkan --- dan juga dengan mempertimbangkan pengaruh Iran atas kelompok-kelompok sosial dan keagamaan di negara-negara Trans Kaukasus (plus Afghanistan), maka jelas Rusia akan selalu membela kepentingan Iran di fora-fora internasional. Lagipula, dalam bawah sadar para perumus kebijakan politik di Teheran dan Moskwa pasti memiliki kesamaan frekuensi dalam memandang kebijakan politik energi Amerika Serikat di masa mendatang.

Dalam kampanyenya yang lalu sebagai calon presiden, Barack Obama antara lain menyatakan tentang pentingnya perubahan signifikan bagi AS untuk beralih ke pemakaian energi alternatif sehingga dapat mengurangi ketergantungan pasokan minyak dari Timur Tengah. Kita berpendapat, tidak mudah untuk mewujudkan itu, karena antara lain biaya awal yang dibutuhkan cukup mahal, apalagi adaptasi penerapannya bersifat trial and error, yang tentu saja akan menimbulkan social and political cost yang cukup tinggi. Di tengah serangkaian rontoknya otoritas-otoritas ekonomi (keuangan) AS yang datang bertubi-tubi akhir-akhir ini, bukankah isapan jempol untuk berbicara tentang investasi besar di bidang pengembangan energi alternatif itu?

Oleh karenanya, pernyataan Obama harus dibaca dari perspektif lain; dan karena pernyataan tersebut muncul dalam atmosfer politik, maka seharusnya kita pun harus menggunakan mikroskop politik agar dapat memantau dengan cermat gerak-gerik mikro-organisme politik yang dikembangbiakkan dalam laboratorium politik global yang diklaim oleh AS sebagai miliknya. Maka, besar kemungkinan, pengalihan ke pemakaian energi alternatif yang dinyatakan Obama tiada lain adalah wilayah alternatif yang berpotensi besar dijadikan sebagai pemasok minyak bagi kebutuhan energi AS di masa mendatang, terutama mengingat jalur Selat Hormuz tak dapat diamankan sepenuhnya oleh Angkatan Laut AS, ditambah lagi dengan realitas obyektif bahwa kawasan Timur Tengah sangat berpotensi sebagai fokus semburan api konflik dunia.

Mudah ditebak, wilayah alternatif yang dimaksud adalah di sekitar Laut (Danau) Kaspia yang deposit minyak dan gasnya cukup melimpah dan konon terbesar di dunia. Sayangnya, bagi AS, untuk menguasai wilayah Laut Kaspia (danau terbesar di dunia) --- yang luasnya 424.200 kilometer persegi dan kedalaman rata-rata lebih dari 300 km --- itu harus berhadapan dulu dengan Iran dan Rusia (juga Turkmenistan, Azerbaijan, dan Kazakhstan) mengingat negara-negara inilah sebagai pemilik syah Laut Kaspia itu.

Bagaimanapun kebijakan energi (alternatif) AS hanyalah salah satu elemen (meski politik AS sering diidentikkan dengan “politik energi”) dalam konstruksi besar “kebijakan umum” AS; dan tidak ada jaminan pasti bahwa konstruksi besar itu steril dari pengaruh CIA (Dinas Intelejen AS). Ambillah dua contoh besar, betapa Presiden John F Kennedy telah dibohongi oleh CIA dalam penyerbuan Teluk Babi, Kuba (1961) yang membuahkan kekalahan telak bagi AS; atau juga bombardemen pesawat-pesawat tempur AS --- dan sekutunya --- atas Irak (di era pemerintahan Saddam Husein) setelah Gedung Putih mendapatkan pasokan data fiktif dari intelejen (CIA) bahwa negara 1001 malam itu mengembangkan senjata pemusnah massal.

Pertanyaannya kemudian, bukankah para petinggi militer dalam sistem yang kapitalistik (apalagi neoliberal) acap berkolaborasi dengan jaringan pemilik modal, dan dalam konteks AS, bukankah jaringan itu adalah “lobi-lobi Zionis”? Sampai di sini, slogan “Perubahan” yang dikumandangkan Obama di saat kampanye pencalonannya --- sebagai Presiden AS --- dulu masih perlu dibuktikan implementasinya.

***

KEMBALI pada pembicaraan semula, karena AS dan beberapa negara cecunguk-nya di Eropa Barat selalu menempatkan Iran sebagai “musuh bebuyutan” (shaft of evil) sembari terus membakar kemenyan “kecurigaan”, dan karena terus meningkatnya libido AS yang hendak melucuti pakaian kebesaran (maaf, bahkan “pakaian dalam”) Rusia, maka “wajar bin wajar” bila Rusia menempatkan Iran sebagai mitra strategis, dan sebaliknya Iran pun berpandangan serupa meski tidak akan pernah mencapai mitra ideologis. Sampai di sini, kalau ada yang tanya, mengapa begitu? Jawabannya, “Iya lah, masak iya-iya dong”.

***

SEMENTARA itu, pesatnya kemajuan China saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan peradabannya. Artinya, perkembangan globalisasi yang kini dialami China juga harus dipandang sebagai hadirnya kebudayaan mereka yang berusia ribuan tahun. Bahkan juga tidak berlebihan jika mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu merupakan kebangkitan kembali kejayaan Kaisar Kuning yang antara lain dihormati melalui ekspresi tarian pemujaan di kuburannya yang terletak kira-kira 80 kilometer dari kota Xi’an, ibu kota lama bagi 12 dinasti China.

Tentu saja, kita tidak pungkiri realitas obyektif berbagai ketimpangan sebagai ekses dari globalisasi itu; sebut saja banjir yang melanda beberapa daerah di China akhir-akhir ini, dan juga kesenjangan ekonomi yang semakin menganga di kalangan rakyat China.

***

DI sisi lain, teluk Persia yang semakin memanas dan menjadi titik episentrum perpolitikan dunia sulit dipahami tanpa melacak sejarah peradaban Persia yang begitu perkasa pada masa silam, dan kemudian mengalami dialektika sintesis dengan kebudayaan Islam menjelang keruntuhannya (Persia). Apalagi jika kita kaitkan dengan asumsi-asumsi strategis mengapa Imam Ali as menikahkan puteranya --- Al Husein as (yang juga adalah cucu kesayangan Rasulullah Muhammad saw) --- dengan Syahbanu, puteri Raja Persia yang kemudian antara lain melahirkan Ali Zainal Abidin as, leluhur para Sayyid di Iran (dan Irak) dan Habib di seantero planet bumi ini.

Adakah keputusan Imam Ali itu memiliki relevansi malakuti (rukhaniah) dengan kesyahidan Imam Husein di Padang Karbala (Irak), mengingat Rasulullah saw --- melalui pengamatan bathiniah --- telah menyatakan bahwa cucu kesayangan beliau (Al Husein, yang merupakan penghulu para syuhada) akan syahid di Padang Karbala?

Bagi yang memungkiri asumsi-asumsi strategis seperti itu patut menjawab pertanyaan berikut: Seandainya tidak hadir seorang tokoh mulia (Sayyid) Imam Khomeini yang menumbangkan rezim despotik Syah Reza Pahlevi, mungkinkah terjadi konfigurasi perlawanan terhadap neo-imperialisme dan zionisme di kawasan Timur Tengah seperti berlangsung hingga saat ini?

***

JIKA Mao Zedong, pendiri China modern di bawah dogma komunisme dan pencetus Revolusi Kebudayaan (1967), menggambarkan revolusi adalah kebangkitan perlawanan, sebuah tindakan yang penuh kekerasan, di mana kelas masyarakat yang satu menggulingkan yang lain, maka Revolusi Islam di Iran (1979) yang dipimpin Imam Khomeini adalah kebangkitan kaum tertindas (mustadh’afin), sebuah tindakan yang penuh penyadaran akhlaki, di mana kaum penindas (mustakbarin) disadarkan untuk mengembalikan hak-hak mustadh’afin (kaum tertindas).

Sebagian pengamat bisa saja mengatakan, untuk memutar roda industrinya, China membutuhkan minyak mentah murah dari Angola, Kongo, dan Sudan. Tapi dengan mempertimbangkan kelompok-kelompok elite yang diduga mengontrol perdagangan kartel minyak di negara-negara ini, maka pendapat itu sulit dipertanggungjawabkan validitasnya.

Di sisi lain, Iran dikenal sebagai negara yang bebas dari sistem mafia dalam kegiatan ekonominya, termasuk perdagangan minyak mentahnya. Tengoklah dengan kejujuran hati nurani, bagaimana sosok Presiden Ahmadinedjad yang memancarkan aura tawadhu dan ke-zuhud-an dalam memandang dunia dan aneka eksistensi. Dari pancaran atau aura kesederhanaan Sang Presiden (Ahmadinedjad) saja, kelompok-kelompok yang berpotensi melakukan kartel pasti akan berpikir sejuta kali untuk melakukan tindak manipulatif dan tercela. Orang yang berpikiran pas-pasan pun akan mudah memahami bahwa keteladanan Sang Pemimpin akan memiliki efek domino (contingency effect) atas berbagai aspek kehidupan, termasuk perdagangan minyak dan gas. Dalam iklim keteladanan demikian tidak akan ada biaya-biaya siluman, sehingga mustahil terjadi penetapan harga penjualan minyak (dan gas) yang menyengsarakan publik (rakyat).

Di atas telah diutarakan bahwa 40 persen pasokan minyak dunia disalurkan melalui Selat Hormuz yang berada dalam pengaruh Iran. Juga telah dikemukakan tentang potensi besar cadangan migas dunia di Laut Kaspia yang notabene berada dalam wilayah pengaruh Iran dan Rusia. Sementara itu, melalui badan intelejennya, China juga pasti mengetahui bahwa pangkalan Angkatan Laut Iran di Pulau Abu Musa (Selat Hormuz) mendapatkan support fasilitas dan tenaga-tenaga ahli dari Rusia. Atau bisa jadi China juga memasok komponen-komponen tertentu dari kapal perang siluman buatan putera-putera Iran baru-baru ini yang dapat mengamankan selat Hormuz (atau bahkan Laut Kaspia) ibarat mengontrol aquarium ikan hias.

Kemudian, dengan semakin pesatnya industrialisasi di China dewasa ini (yang tentu saja membutuhkan migas sebagai sumber energi penggeraknya), bukankah Selat Hormuz mutlak berfungsi seperti selang infus bagi China? Dan bukankah China pasti tahu bahwa dokter yang memegang otoritas atas selang infus tersebut adalah Iran? Inilah mungkin salah satu faktor yang juga dijadikan bahan pertimbangan oleh China mengapa harus menjadikan Iran sebagai mitra strategis dan membelanya dalam fora-fora internasional.

Sebaliknya, bagi Iran mungkin sederhana saja: China dibutuhkan karena memang Rasulullah Muhammad saw menganjurkan agar menuntut ilmu ke sana (China). Sehingga, tidak perlu dibuat analisis rumit, misalnya dipersepsikan bahwa bagi Iran, kerjasama tersebut lebih mengarah kepada pemanfaatan jaringan Oversea China (yang tersebar di seluruh penjuru dunia), sekaligus sebagai counter balance atas hegemoni lobi-lobi Zionis internasional.

***

KEMUDIAN, tentang peluang kerjasama Iran-Indonesia dalam riset dan pengembangan nuklir yang difokuskan pada food, energy, water, and health (FEW + H), dan juga mengapa kritik sebagian anggota DPR RI --- terkait dengan dukungan Pemerintah RI atas Resolusi 1747 DK PBB --- terkesan lebih bernuansa politis reaktif, itu sebaiknya dijawab langsung oleh --- berturut-turut --- Dubes Republik Islam Iran dan Anggota DPR RI yang Anda mintai komentarnya. [**]

(Diskusi-Kliping-Iran/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Sabtu, 20 Agustus 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Sorot Balik Isu Nuklir Iran: Aliansi Geostrategis Iran-Rusia-China dan Kerjasama Indonesia-Iran?. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/08/sorot-balik-isu-nuklir-iran-aliansi.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS