Turki dan Israel tengah berupaya membicarakan kesepakatan pemulihan hubungan.
Sebagai negara anggota pakta pertahanan Atlantik utara atau NATO, Turki sebelumnya adalah sekutu utama Israel di kawasan itu.
Namun, kedua negara tersebut berselisih karena serbuan mematikan pasukan komando Israel pada 2010 terhadap kapal bantuan Turki, Mavi Marmara, yang menuju Gaza.
Ketegangan di antara kedua negara kini sedikit mengendur menyusul pemberitahuan pada Desember 2015 bahwa kedua pihak membuat kemajuan dalam pembicaraan rahasia untuk mencapai pemulihan hubungan.
"Israel membutuhkan negara seperti Turki di kawasan ini, dan kami juga harus mengaku bahwa kami membutuhkan Israel. Ini kenyataan," kata Erdogan kepada wartawan Turki seperti dikutip koran lokal terbitan Sabtu (2/1/2016).
"Jika langkah bersama diterapkan berdasarkan ketulusan, maka normalisasi hubungan akan tercipta," kata dia.
Para duta besar ditarik dari masing-masing negara seiring timbulnya krisis pada 2010. Erdogan mengatakan tiga syarat yang diajukan Turki untuk normalisasi sangat jelas yaitu pencabutan blokade Gaza, kompensasi bagi korban kapal Mavi Marmara, serta permintaan maaf atas insiden tersebut.
Israel meminta maaf dan perundingan sepertinya membuahkan kemajuan dalam hal ganti rugi, dan tinggal menyisakan pengucilan di Jalur Gaza, yang dikuasai Hamas, sebagai rintangan utama.
Dengan menunjukkan kemajuan dalam hal pengucilan, Erdogan menyatakan Israel mengusulkan mengizinkan barang dan bahan bangunan melintasi Gaza jika berasal dari Turki.
"Kami harus melihat teks tertulis untuk memastikan tidak ada penyimpangan kesepakatan," kata Erdogan.
Israel juga menginginkan Turki mencegah mata-mata Hamas, Salah Aruri, memasuki wilayahnya. Sejauh ini, Israel tidak pernah memastikan kehadiran Aruri di Turki.
Pada bulan lalu, Erdogan mengadakan pembicaraan tertutup dengan Kepala Hamas, Khaled Meshaal, namun isi pembicaraan antara presiden dan pemimpin pergerakan Islam Palestina itu tidak pernah terungkap.
(Kompas/Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar