Saat berbicara di rapat kabinet, seusai pesawat Sukhoi Su-24 ditembak di perbatasan Suriah-Turki, Perdana Menteri Dmitry Medvedev mengatakan bakal memfokuskan sanksi pada “pembatasan atau pelarangan” kepentingan ekonomi Turki di Rusia.
Sektor yang akan terpengaruh, kata Medvedev, mencakup pangan, pariwisata, transportasi, perdagangan, tenaga kerja, bea cukai dan “hubungan kemanusiaan”.
Sebulan setelah pengumuman itu, para pebisnis Turki merasakan dampaknya.
Ekspor produk makanan ke Rusia, termasuk sayur dan buah, mendadak terputus. Kemudian, penjualan tiket pesawat dan pemesanan hotel di Turki oleh wisatawan asal Rusia berkurang drastis.
Proyek konstruksi TurkStream, jalur pipa yang mengalirkan gas Rusia ke Turki melalui Laut Hitam, ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Bahkan, perusahaan-perusahaan Rusia dilarang memperkerjakan warga sipil Turki.
Erhan Aslanoglu, seorang pakar ekonomi Turki, mengatakan beragam sanksi itu jelas akan berdampak pada ekonomi Turki dalam jangka pendek. Dia memprediksi ekonomi Turki akan kehilangan sedikitnya US$10 miliar atau Rp138,3 triliun.
Ekspor gas
Di sektor pariwisata, Turki merupakan tujuan wisata terpopuler kedua setelah Mesir bagi para wisatawan Rusia. Sekitar 3,2 juta turis Rusia menghabiskan liburan di Turki tahun lalu, menurut Dinas Pariwisata Rusia.
Akibat sanksi pada sektor pariwisata, Erhan Aslanoglu memprediksi Turki berisiko kehilangan US$3,5 miliar (Rp48,4 triliun) dari wisatawan asal Rusia.
Kemudian akibat pembatalan proyek-proyek konstruksi, Aslanoglu memperkirakan Turki akan kehilangan US$4,5 miliar (Rp62,2 triliun) per tahun.
Meski demikian, menurutnya, Rusia tidak akan berlama-lama memberlakukan sanksi di sektor energi yang merupakan sektor kunci dalam perdagangan bilateral antara Rusia dan Turki.
Sekedar catatan, Turki mengandalkan Rusia mengingat 55% kebutuhan gas alam Turki dipasok Rusia.
“Jika Moskow menghentikan atau menunda aliran gas alam, hal itu jelas akan berdampak serius pada ekonomi Turki. Namun, menurut saya, perubahan besar semacam itu tidak terjadi,” kata Aslanoglu.
Sektor tekstil
Sektor yang terkena pukulan dari memburuknya hubungan Turki-Rusia ialah tekstil. Di Laleli, kawasan di Kota Istanbul yang terkenal akan lini produksi pakaian ekspor, para pedagang mengeluhkan bisnis mereka yang menurun sejak pesawat Rusia ditembak jatuh.
“Sangat sulit bagi kami untuk bekerja saat ini. Banyak toko yang tutup, tidak ada pembeli,” kata Naile Cebic, pedagang pakaian pria yang sebagian besar ditujukan ke pasar Rusia.
Hasan Erin, seorang eksportir jaket kulit, mengatakan perkiraan ekonomi amat keruh lantaran 80% konsumennya ialah warga Rusia. Dia mengaku amat mungkin bangkrut dalam dua bulan mendatang jika bisnisnya tidak bangkit.
Tekstil Turki memang tidak termasuk dalam rangkaian sanksi Rusia, namun para eksportir merasa produk mereka secara tidak resmi menjadi barang terlarang di Rusia.
Lepas dari insiden pesawat, Ketua Asosiasi Industri dan Bisnis Laleli, Giyasettin Eyyupkoca, mengatakan para pedagang telah kehilangan 60% dari pendapatan mereka akibat penurunan nilai tukar rubel dalam setahun terakhir. Akibatnya, produk-produk Turki tampak lebih mahal bagi konsumen Rusia.
Dengan memperhitungkan kelesuan bisnis akibat insiden pesawat, para pedagang kehilangan 20% tambahan.
‘Seperti perceraian’
Sektor lain yang terpengaruh dengan sanksi Rusia ialah makanan. Kementerian Pertanian Turki mengatakan pelarangan impor makanan dari Turki di Rusia mengakibatkan pendapatan sebanyak US$764 juta (Rp10,5 triliun) hilang begitu saja.
“Turki memproduksi 45-50 juta ton sayur dan buah setiap tahun. Dari jumlah itu, kami mengekspor hanya 5-6%. Krisis dengan Rusia mungkin mempengaruhi petani jeruk secara khusus, namun pemerintah berjanji membantu mereka dengan memberi subsidi,” kata Muhittin Baran, Wakil kepala Asosiasi Pedagang Buah dan Sayur Turki.
Tidak hanya bisnis secara umum, warga Turki yang ingin bekerja untuk perusahaan Rusia harus mengurungkan niat mereka lantaran Rusia melarang perusahaan-perusahaan Rusia memperkerjakan warga Turki.
”Turki dan Rusia seperti pasangan yang ingin bercerai, dan kami adalah anak-anak mereka. Jika mereka berpisah, kami akan susah. Kami berharap presiden-presiden kami tidak mengabaikan kami, kata Cagla Kursun, seorang pelajar.
(BBC-Indonesia/Satu-Islam/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar