Hollywood dan Perannya dalam Perluasan Islamphobia


Islamphobia adalah sebuah ungkapan baru yang berkaitan diskriminasi atau fanatisme anti-Islam dan Muslim. Kata ini untuk pertama kalinya digunakan pada dekade 1980, namun pasca 11 September 2001, penggunaannya semakin meluas. Sejak itu, Islamphobia berarti kekhawatiran dan kebencian terhadap Muslim, serta pemahaman terhadap Islam yang tidak memiliki nilai kolektif dengan budaya lain dan berada di posisi yang lebih rendah di Barat. Islam bukan sebuah agama langit melainkan sebuah ideologi politik radikal.

Islamphobia adalah dalam rangka menciptakan ketakutan terhadap agama dan syariat Islam, masyarakat Islam dan peradaban Islam. Itu merupakan kinerja media massa Barat dengan tujuan memperluas hegemoni dan juga dalam rangka mencoreng citra Islam dengan isu-isu seperti kekerasan, terorisme, anti-hak asasi manusia, despotisme,terbelakang, non-sipil, berbahaya untuk dunia, pembunuh dan tidak rasional. Dengan cara itu, mereka berusaha menciptakan atmosfer Islamphobia dalam masyarakat dunia.

Di antara seluruh agama yang berurusan dengan Kristen, hanya agama Islam yang lebih disalahpahami dan pada akhirnya menjadi target serangan dunia Kristen. Lebih dari 1.000 tahun, Islam dinilai sebagai salah satu ancaman utama bagi masyarakat Eropa.Sikap tersebut akhirnya melahirkan perspektif bahwa Islam dan penganutnya adalah musuh paling berat Kristen Barat. Adapun dampak utama pencitraan negatif dari Islam adalah pembenaran anggapan tidak benar tentang Muslim ditambah lagi dengan kinerja radikal serta gaya hidup para panguasa Timur di negara-negara Muslim. Perpaduan antara asumsi infaktual dan kinerja radikal serta gaya hidup para penguasa negara-negara Islam itu semakin mempercepat perluasan Islamphobia.

Penggunaan Islamphobia meningkat pada era pemerintahan mantan presiden AS George W. Bush dan khususnya pasca serangan 11 September 2001. Wacana tersebut merupakan dampak langsung dari perang melawan terorisme yang diupayakan Bush dengan alasan serangan 11 September. Setelah runtuhnya Uni Soviet Amerika Serikat tidak memiliki musuh di dunia dan serangan 11 September dijadikan sebagai alasan untuk membangun musuh baru dan menduduki negara Muslim yang sebelumnya dijajah pihak komunis.

Di saat musuh-musuh di era Perang Dingin, menjadi teman baru lembaga-lembaga penting Barat termasuk NATO, masalah keberadaan militan islamis, telah membantu visualisasi musuh baru kolektif Amerika Serikat. Secara keseluruan, pada beberada dekade di akhir abad-20, Islam tidak diperkenalkan dengan baik dalam sistem media massa Amerika Serikat. Selama itu, televisi-televisi seperti CNN dan media cetak serta sinema, memiliki peran penting dalam membentuk dan mengelola opini publik Amerika Serikat. Oleh karena itu mengingat visualisasi tidak benar terhadap Islam dan Muslim, dalam beberapa tahun pasca seranan 11 September, perspektif anti-Islam semakin meningkat di Amerika Serikat.

Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Gallup di Amerika Serikat, 22 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertetangga dengan Muslim, 39 persen ingin agar warga Muslim AS diberi tanda khusus yang membedakan mereka dari warga AS lainnya. Secara keseluruhan, politik pemerintah Amerika Serikat berdasarkan pada prinsip xenophobia sehingga mengokohkan Islamphobia, yang pada hakikatnya bertentangan dengan hukum hak-hak sipil dan supremasi hukum serta nilai-nilai kemanusiaan nasionalnya.

Pengurungan untuk jangka waktu lama dan tanpa perhitungan yang tercatat dalam berbagai data, pengambilan sidik jari dari warga Muslim, ekstradisi sejumlah warga Muslim, serta kelambanan dalam menangani berkas permintaan kewarganegaraan Amerika Serikat, merupakan di antara hasil dari Islamphobia dalam kebijakan negara itu. Masalah tersebut saat ini telah berubah menjadi sebuah norma umum.

Diskriminasi dan perilaku menyimpang terhadap warga Muslim di Barat, khususnya di Amerika Serikat, terjadi dalam berbagai bentuk. Bahkan hal-hal itu juga berdampak pada pemberian layanan yang timpang di berbagai restoran, pusat-pusat hiburan dan semacamnya. Kerap warga Muslim mendapat perilaku buruk dan tidak terhormat, olokan, penghinaan dan lain-lain. Di lain pihak, pihak berwenang menunjukkan sikap yang lebih ekstrim terhadap warga Muslim dengan penggeledahan tidak terhormat, pemukulan dan berbagai perilaku diskriminatif lain.

Di dunia Barat, Kristen khususnya kelompok Protestan, berperan penting dalam perluasan Islamphobia. Kelompok ini, akibat pengalaman sejarah yang mereka miliki soal peran dan intervensi agama di kancah sosial pada abad pertengahan, merasa terusik dengan masuknya agama dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, mengingat peran sosial agama Islam, kelompok Kristen itu merasa terganggu dengan penyebaran Islam di bumi Eropa.

Kelompok Protestan menjelaskan Islam dengan menggunakan label-label yang marak dinisbatkan kepada Islam pada abat pertengahan. Sementara, kelompok Kristen radikal Amerika Serikat yang juga disebut dengan Kristen Zionis, memanfaatkan secara maksimal serangan 11 September 2001 untuk memasyarakatkan Islamphobia. Mereka menggunakan berbagai rekaman pidato Ben Laden dan sepemikirannya yang anti Yahudi dan Kristen, serta pernyataan-pernyataan kerasnya, sebagai bukti kuat untuk mencoreng citra Islam dan Muslim. Pernyataan para pemimpin sayap kanan Kristen Amerika Serikat dalam hal ini menunjukkan bahwa pelontaran berbagai masalah negatif anti-Islam dan Muslim pasca 11 September, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari wacana politik mereka. Dalam hal ini mereka mengemukakan konsep-konsep di antaranya, “jejak teroris Muslim di Amerika Serikat, Islam versus Barat dan pedang Islam” untuk menebar citra negatif tentang Islam dan Muslim di berbagai media massa penting di Amerika Serikat.

Namun setelah satu dekade berlalu sejak serangan 11 September, kini tibalah giliran pemanfaatan berbagai aktivitas ekstrimis kelompok teroris Takfiri (ISIS). Untuk kali ini, media massa Amerika Serikat dan Barat dengan menyebutkan nama ISIS yang berarti “pemerintah Islam”, berusaha untuk menisbatkan perilaku ISIS dengan pemikiran Islam yang sesungguhnya. Media massa ini meliput secara meluas seluruh aksi-aksi kekerasan ISIS serta menyetarakannya dengan pemikiran dan ajaran Islam.

Ini terjadi di saat Barat sendirilah yang melatarbelakangi pembentukan dan pengokohan kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti ISIS. Sebagaimana yang diungkapkan Hillary Clinton, mantan menlu Amerika Serikat, dalam bukunya “Hard Choices”. Ditegaskannya bahwa ISIS dibentuk oleh Amerika Serikat dan dinas-dinas intelijen negara-negara sekutunya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa proyek 11 September dan kelompok teroris Takfiri ISIS, keduanya adalah bagian dari perencanaan politik jangka panjang Islamphobia. Hal itu juag dimanfaatkan oleh Hollywood untuk menyebarkan Islamphobia dengan menampilkan berbagai aksi sadis kelompok ISIS.

Barat sepenuhnya mengetahui masalah ini bahwa Islam merupakan tantangan berat bagi hegemoni mereka. Tantangan yang dihadapi mereka dari Islam jauh lebih dalam dan berat dari bahaya perluasan komunisme. Apalagi Islam bukan hanya dilihat dari sisi ideologinya saja, mengingat Islam juga berhubungan dengan sumber-sumber alam melimpah di dunia.

Barat bersaing dengan komunisme soal pengaruh mereka di dunia termasuk di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Akan tetapi dalam berhadapan dengan Islam, Barat harus menyusun rencana perang dan pertempuran di berbagai level. Karena umat Islam umat Islam mampu bangkit untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sebagaimana gerakan kebangkitan di Timur Tengah yang dimulai dari Revolusi Islam Iran. Bangkitnya kembali Islam politik akhirnya memaksa Amerika Serikat untuk agresif berhadapan dengan Republik Islam Iran. Apalagi, gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah pada tahun 2011, terinspirasi dari Revolusi Islam Iran. (IRIB Indonesia/MZ)

Islamphobia adalah sebuah ungkapan baru yang berkaitan diskriminasi atau fanatisme anti-Islam dan Muslim. Kata ini untuk pertama kalinya digunakan pada dekade 1980, namun pasca 11 September 2001, penggunaannya semakin meluas. Sejak itu, Islamphobia berarti kekhawatiran dan kebencian terhadap Muslim, serta pemahaman terhadap Islam yang tidak memiliki nilai kolektif dengan budaya lain dan berada di posisi yang lebih rendah di Barat. Islam bukan sebuah agama langit melainkan sebuah ideologi politik radikal.

Islamphobia adalah dalam rangka menciptakan ketakutan terhadap agama dan syariat Islam, masyarakat Islam dan peradaban Islam. Itu merupakan kinerja media massa Barat dengan tujuan memperluas hegemoni dan juga dalam rangka mencoreng citra Islam dengan isu-isu seperti kekerasan, terorisme, anti-hak asasi manusia, despotisme,terbelakang, non-sipil, berbahaya untuk dunia, pembunuh dan tidak rasional. Dengan cara itu, mereka berusaha menciptakan atmosfer Islamphobia dalam masyarakat dunia.

Di antara seluruh agama yang berurusan dengan Kristen, hanya agama Islam yang lebih disalahpahami dan pada akhirnya menjadi target serangan dunia Kristen. Lebih dari 1.000 tahun, Islam dinilai sebagai salah satu ancaman utama bagi masyarakat Eropa.Sikap tersebut akhirnya melahirkan perspektif bahwa Islam dan penganutnya adalah musuh paling berat Kristen Barat. Adapun dampak utama pencitraan negatif dari Islam adalah pembenaran anggapan tidak benar tentang Muslim ditambah lagi dengan kinerja radikal serta gaya hidup para panguasa Timur di negara-negara Muslim. Perpaduan antara asumsi infaktual dan kinerja radikal serta gaya hidup para penguasa negara-negara Islam itu semakin mempercepat perluasan Islamphobia.

Penggunaan Islamphobia meningkat pada era pemerintahan mantan presiden AS George W. Bush dan khususnya pasca serangan 11 September 2001. Wacana tersebut merupakan dampak langsung dari perang melawan terorisme yang diupayakan Bush dengan alasan serangan 11 September. Setelah runtuhnya Uni Soviet Amerika Serikat tidak memiliki musuh di dunia dan serangan 11 September dijadikan sebagai alasan untuk membangun musuh baru dan menduduki negara Muslim yang sebelumnya dijajah pihak komunis.

Di saat musuh-musuh di era Perang Dingin, menjadi teman baru lembaga-lembaga penting Barat termasuk NATO, masalah keberadaan militan islamis, telah membantu visualisasi musuh baru kolektif Amerika Serikat. Secara keseluruan, pada beberada dekade di akhir abad-20, Islam tidak diperkenalkan dengan baik dalam sistem media massa Amerika Serikat. Selama itu, televisi-televisi seperti CNN dan media cetak serta sinema, memiliki peran penting dalam membentuk dan mengelola opini publik Amerika Serikat. Oleh karena itu mengingat visualisasi tidak benar terhadap Islam dan Muslim, dalam beberapa tahun pasca seranan 11 September, perspektif anti-Islam semakin meningkat di Amerika Serikat.

Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Gallup di Amerika Serikat, 22 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertetangga dengan Muslim, 39 persen ingin agar warga Muslim AS diberi tanda khusus yang membedakan mereka dari warga AS lainnya. Secara keseluruhan, politik pemerintah Amerika Serikat berdasarkan pada prinsip xenophobia sehingga mengokohkan Islamphobia, yang pada hakikatnya bertentangan dengan hukum hak-hak sipil dan supremasi hukum serta nilai-nilai kemanusiaan nasionalnya.

Pengurungan untuk jangka waktu lama dan tanpa perhitungan yang tercatat dalam berbagai data, pengambilan sidik jari dari warga Muslim, ekstradisi sejumlah warga Muslim, serta kelambanan dalam menangani berkas permintaan kewarganegaraan Amerika Serikat, merupakan di antara hasil dari Islamphobia dalam kebijakan negara itu. Masalah tersebut saat ini telah berubah menjadi sebuah norma umum.

Diskriminasi dan perilaku menyimpang terhadap warga Muslim di Barat, khususnya di Amerika Serikat, terjadi dalam berbagai bentuk. Bahkan hal-hal itu juga berdampak pada pemberian layanan yang timpang di berbagai restoran, pusat-pusat hiburan dan semacamnya. Kerap warga Muslim mendapat perilaku buruk dan tidak terhormat, olokan, penghinaan dan lain-lain. Di lain pihak, pihak berwenang menunjukkan sikap yang lebih ekstrim terhadap warga Muslim dengan penggeledahan tidak terhormat, pemukulan dan berbagai perilaku diskriminatif lain.

Di dunia Barat, Kristen khususnya kelompok Protestan, berperan penting dalam perluasan Islamphobia. Kelompok ini, akibat pengalaman sejarah yang mereka miliki soal peran dan intervensi agama di kancah sosial pada abad pertengahan, merasa terusik dengan masuknya agama dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, mengingat peran sosial agama Islam, kelompok Kristen itu merasa terganggu dengan penyebaran Islam di bumi Eropa.

Kelompok Protestan menjelaskan Islam dengan menggunakan label-label yang marak dinisbatkan kepada Islam pada abat pertengahan. Sementara, kelompok Kristen radikal Amerika Serikat yang juga disebut dengan Kristen Zionis, memanfaatkan secara maksimal serangan 11 September 2001 untuk memasyarakatkan Islamphobia. Mereka menggunakan berbagai rekaman pidato Ben Laden dan sepemikirannya yang anti Yahudi dan Kristen, serta pernyataan-pernyataan kerasnya, sebagai bukti kuat untuk mencoreng citra Islam dan Muslim. Pernyataan para pemimpin sayap kanan Kristen Amerika Serikat dalam hal ini menunjukkan bahwa pelontaran berbagai masalah negatif anti-Islam dan Muslim pasca 11 September, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari wacana politik mereka. Dalam hal ini mereka mengemukakan konsep-konsep di antaranya, “jejak teroris Muslim di Amerika Serikat, Islam versus Barat dan pedang Islam” untuk menebar citra negatif tentang Islam dan Muslim di berbagai media massa penting di Amerika Serikat.

Namun setelah satu dekade berlalu sejak serangan 11 September, kini tibalah giliran pemanfaatan berbagai aktivitas ekstrimis kelompok teroris Takfiri (ISIS). Untuk kali ini, media massa Amerika Serikat dan Barat dengan menyebutkan nama ISIS yang berarti “pemerintah Islam”, berusaha untuk menisbatkan perilaku ISIS dengan pemikiran Islam yang sesungguhnya. Media massa ini meliput secara meluas seluruh aksi-aksi kekerasan ISIS serta menyetarakannya dengan pemikiran dan ajaran Islam.

Ini terjadi di saat Barat sendirilah yang melatarbelakangi pembentukan dan pengokohan kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti ISIS. Sebagaimana yang diungkapkan Hillary Clinton, mantan menlu Amerika Serikat, dalam bukunya “Hard Choices”. Ditegaskannya bahwa ISIS dibentuk oleh Amerika Serikat dan dinas-dinas intelijen negara-negara sekutunya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa proyek 11 September dan kelompok teroris Takfiri ISIS, keduanya adalah bagian dari perencanaan politik jangka panjang Islamphobia. Hal itu juag dimanfaatkan oleh Hollywood untuk menyebarkan Islamphobia dengan menampilkan berbagai aksi sadis kelompok ISIS.

Barat sepenuhnya mengetahui masalah ini bahwa Islam merupakan tantangan berat bagi hegemoni mereka. Tantangan yang dihadapi mereka dari Islam jauh lebih dalam dan berat dari bahaya perluasan komunisme. Apalagi Islam bukan hanya dilihat dari sisi ideologinya saja, mengingat Islam juga berhubungan dengan sumber-sumber alam melimpah di dunia.

Barat bersaing dengan komunisme soal pengaruh mereka di dunia termasuk di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Akan tetapi dalam berhadapan dengan Islam, Barat harus menyusun rencana perang dan pertempuran di berbagai level. Karena umat Islam umat Islam mampu bangkit untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sebagaimana gerakan kebangkitan di Timur Tengah yang dimulai dari Revolusi Islam Iran. Bangkitnya kembali Islam politik akhirnya memaksa Amerika Serikat untuk agresif berhadapan dengan Republik Islam Iran. Apalagi, gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah pada tahun 2011, terinspirasi dari Revolusi Islam Iran.


Amerika Serikat dalam menjustifikasi politik konfrontatifnya, menggunakan berbagai film produksi Hollywood sebagai senjata media terpenting dan secara bersamaan mengerahkan kekuatan propaganda lunaknya yang sangat rumit. Cara ini sangat efektif mengingat secara tidak disadari ketika para pemirsa menyaksikan film, pada satu titik mereka akan melepas kontrol perasaan dan afeksi mereka serta seperti menjadi seorang yang telah terhipnotis. Pada tahap tersebut, disuntikkan konsep dan persepektif baru kepada para pemirsa dan mereka pun menerimanya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa film adalah senjata efektif yang dapat digunakan untuk mempengaruhi opini dan pandangan pemirsa. Sedemikian berpengaruh, sehingga perasaan dan fisik pemirsa akan dapat diberdayakan mengacu target yang telah ditetapkan. Dan yang lebih penting, itu semua terjadi tanpa harus menembakkan satu peluru pun.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada berbagai analisa, ujicoba dan data statistik, media adalah sarana efektif untuk memperkenalkan sebuah kaum, kelompok atau ide, sementara para pemilik media dapat menggiring serta mempengaruhi opini publik. Hollywood sebagai media terbesar dunia telah menjadi lengan kekuatan Amerika Serikat untuk memperkenalkan kaum, kelompok maupun ide sesuai dengan kepentingannya. Sekarang adalah giliran perspektif Islam dan Muslim sebagai target agitasi dan propaganda Hollywood.

Salah satu kriteria menonjol sinema Hollywood adalah dominasi kelompok Yahudi-Zionis. Dominasi itu telah ada sejak terbentuknya industri perfilman di Amerika Serikat dan hingga kini Yahudi-Zionis AS mampu mempertahankan dominasi itu. Dalam hal ini Michael Medved, penulis dan kritikus sinema Amerika Serikat mengatakan, “Pengingkaran fakta kekuatan dan dominasi Yahudi di [sektor] budaya umum adalah hal yang sia-sia. Jika diperhatikan pada list direktur eksekutif yang paling berpengaruh studio film penting, bagaimana pun sebagian besar di antaranya terdapat nama-nama orang-orang Yahudi terkenal."

Michael Medved dalam buku berjudul Hollywood Vs. America terbitan 1992 menulis: Hollywood tetap melanjutkan produksi karya-karya dengan keunggulan teknis yang mewah, perekaman film yang menakjubkan, berbagai spesial efek yang menawan, pengaturan dekor yang mengesankan, penyusunan yang handal dan penulisan naskah yang hebat. Akan tetapi, menurut Medved, masalah besar Hollywood sebagai pusat hiburan dan budaya Amerika Serikat adalah penyakit jiwanya. Medved berpendapat bahwa Hollywood sekarang ini menjadi sebuah perusahaan produksi racun dan pemuja keburukan dan kemunkaran.

Medved menilai prioritas terbesar dan paling berpengaruh industri hiburan itu adalah kefasadan dan pendistorsian. Hollywood bersama media-media Yahudi-Zionis menggulirkan propaganda terkait berbagai peristiwa dalam masyarakat dan kemudian mendistorsikannya. Hollywood dan media-media Yahudi Zionis itu secara teratur mengutak-atik fakta sejarah, memperluas hiburan anti-nilai dan berdasarkan pada parameter amoral, hingga membuka pintu bagi pengawasan kelompok Yahudi Zionis terhadap politik Amerika Serikat dan pada akhirnya membantu perang Israel dengan Palestina serta penumpasan rakyat di negara itu selama beberapa dekade. Hollywood dan Washington selalu mengincar negara dan bangsa-bangsa baru untuk menarget mereka sebagai kekuatan ankara.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Joel Osteen, seorang produser Yahudi-Zionis Hollywood. Dalam artikel yang dimuat Los Angeles Times pada Desember 2008, dia menulis, “Sebagai seorang Yahudi yang bangga saya ingin masyarakat Amerika Serikat mengetahui tentang keberhasilan kami. Iya kami menguasai Hollywood, bagi saya tidak penting apa yang dipikirkan masyarakat Amerika, kami mengelola media massa pemberitaan, Hollywood, Wall Street dan pemerintah. Yang penting adalah bahwa kita harus tetap mengelola lembaga-lembaga ini.”

Perusahaan perfilman Metro Goldwyn Mayer, adalah salah satu pilar utama Yahudi di Hollywood. Logo perusahaan ini adalah singa yang meraung dan ditayangkan di awal setiap film produksinya. Di bagian atas logo tersebut terpampang slogan dalam bahasa Latin yang artinya adalah kesenian untuk kesenian. Sebagaimana artinya, tampaknya film-film produksi Metro Goldwyn Mayer adalah untuk kesenian dan budaya. Akan tetapi pada sebenarnya slogan tersebut tidak lebih dari kebohongan belaka. Media-media Hollywood tidak memproduksi karya-karya seni dan budaya, melainkan untuk mengeruk profit dan penyebarluasan ideologi, perspektif dan tujuan-tujuan para pengelolanya.

Masing-masing studio utama Hollywood saat ini adalah anak perusahaan dari sebuah perusahaan yang lebih besar, oleh karena itu aktivitas mereka tidak sepenuhnya independen. Studio-studio tersebut berada di bawah payung imperium finansial dan perusahaan-perusahaan induk mereka. Di antara perusahaan-perusahaan induk tersebut adalah Fox Entertainment Group (20TH Century Fox), Viacom (Paramount Pictures), NBC Universal (Universal), Walt Disney Company (Pixar, Disney), Sony (TriStar Pictures), Time Warner (Warner Bros)

Perusahaan-perusahan induk itu termasuk di antara perusahaan terkuat di dunia dan dikelola oleh para pengacara, banker dan investor. Sumber-sumber dana mereka berhubungan erat dengan sektor politik, industri persenjataan, dan mereka berhubungan dengan para pejabat pemerintah, karena pada akhirnya pemerintah yang akan menetapkan ketentuan finansial. Selain itu, para produsen film juga banyak mendapat bantuan dari pemerintah Amerika Serikat. Contohnya adalah In The Army Now (1994), Crimson Tide (1995), Armageddon (1998), Bad Company (2002) dan masih banyak lagi.

Pada tahun 2006, Disney menayangkan film berjudul The Path to 9/11, film yang tampak berniat membebaskan pemerintah Bush dari peristiwa tersebut dan menuding pemerintah Clinton bertanggungjawab atas serangan itu. Masalah itu langsung direaksi oleh mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Madeleine Albright, dan Sandy Burger, mantan penasehat keamanan nasional era pemerintah Clinton, dengan melayangkan surat-surat protes.

Visualisasi Muslim dalam sinema Hollywood telah dibagi dalam tiga kategori: tahap pertama adalah awal pembentukan Hollywood hingga terbentuknya rezim Zionis Israel. Pada itu, umat Muslim pada umumnya dipandang sebagai kelompok masyarakat terbelakang tidak berperadaban. Tahap kedua adalah sejak terbentuknya rezim ilegal Zionis hingga Revolusi Islam Iran. Pada era ini, selain perspektif pada tahap awal tetap melekan, Muslim dipandang sebagai kelompok manusia perampas dan buas. Sementara tahap ketiga adalah pasca kemenangan Revolusi Islam Iran dan khususnya setelah 11 September. Pada tahap ketiga tersebut, selain tuduhan pada tahap pertama dan kedua, umat Muslim dipandang sebagai kelompok orang-orang yang membenci Yahudi dan Kristen serta teroris.

Hollywood menggunakan beberapa strategi untuk menyebarkan Islamphobia yang telah didiktekan kepada para sutradara dan produsen film dalam instruksi tidak tertulis. Di antaranya:
1. Penyebarluasan irfan sekuler.
2. Serangan budaya dan pemasyarakatan hedonisme dan materialisme.
3. Pencitraan umat Muslim sebagai kaum terbelakang dan teroris.
4. Pengutamaan Yahudi dan ketentuan mereka di atas agama Kristen dan Islam.
5. Pencitraan wajah jahat Muslim serta penggoyahan keyakinan mereka.
6. Penggunaan gambaran tentang Muslim dalam berbagai film komedi.


Pengaruh film telah disadari sejak awal munculnya dunia sinema oleh kekuatan penjajah. Dengan munculnya sinema, banyak pemerintah yang mampu melakukan definisi ulang atas berbagai isu hingga mendekati batas kenyataan bagi para audiens. Dalam hal ini, Hollywood dan media propaganda lain seperti yang dimiliki Nazi Jerman, berusaha memanfaatkan secara maksimal fakta sinematik tersebut. Pasca Perang Dunia II khususnya di Italia, kehausan akan revisualisasi fakta-kata yang ada dalam komunitas seniman kembali muncul ke permukaan dan ditemukan pula berbagai sarana baru perfilman.

Pada era terebut, Hollywood nyaris mengalahkan seluruh media propaganda lain dan tampil sebagai kekuatan media adidaya di dunia. Sebagai sebuah media propaganda politik, Hollywood memahami apa yang diinginkan audiens dan mengolahnya dengan berbagai trik dan teknik khususnya. Hasilnya adalah munculnya film-film realism seperti The Deer Hunter pada dekade 70-an.

Secara bertahap berbagai elemen dokumentasi, berita dan serial televisi juga reality show, bahkan rekaman film rumahan masuk dalam gerakan propaganda Hollywood. Hollywood sedemikian menguasai trik dan teknik merekayasa fakta untuk tujuan-tujuannya, sehingga penguraiannya nyaris tidak mungkin dilakukan oleh audiens non-ahli.

Hollywood sekarang telah mampu meredifinisi atau bahkan mengubah segala macam fakta di jalur yang diinginkannya untuk para audiens. Pada hakikatnya, para audiens pada umumnya tidak mengetahui fakta yang sebenarnya dan mereka merekam fakta-fakta tersebut bukan dari sumber lain kecuali dari definisi yang diberikan media-media propaganda. Hollywood mampu melabel musuh-musuhnya sebagai kekuatan ankara dengan berbagai teknik khusus sehingga terkesan riil. Dan salah satu masalah yang sangat diperhatikan dalam sinema Hollywood adalah masalah realisme.

Agar dapat mentransfer ideologinya, Hollywood mempersiapkan pondasi realistis untuk berbagai peristiwa dan kejadian dalam film-filmnya. Khususnya untuk film yang berhubungan dengan masa dan peristiwa nyata di masa lalu, Hollywood berusaha keras untuk mendekatkan seluruh elemen yang ada dengan sejarah kala itu. Dengan bantuan teknik alur penceritaan termasuk di antaranya menampilkan tulisan di awal film, secara tidak langsung, Hollywood telah menanamkan perspektif kepada audiens bahwa apa yang mereka saksikan adalah fakta riil. Dan masih banyak trik Hollywood dalam hal ini termasuk pengambilan gambar dari kamera yang aktif bergerak ala film dokumentasi untuk menarik kepercayaan audiens.

Hollywood berusaha menciptakan para pahlawan berkekuatan super. Mereka mengetahui dengan baik bahwa untuk mentransfer pesan mereka harus mengalirkannya melalui tahap filtering. Yaitu perantara lama, sebuah idol superhero, karakter yang telah lama disukai oleh para audiens. Dengan demikian, jika sang superhero memiliki pandangan khusus, dengan cepat akan meresap dan diiringi oleh audiens. Selama bertahun-tahun, cara tersebut terbukti efektif untuk menggalang dukungan audiens dalam penyebaran Islamphobia.

Kekhawatiran para pemeran utama atau karakter superhero terhadap Islam sepanjang penayangan film secara langsung akan mempengaruhi opini audiens. Dengan cepat, mereka juga akan mengambil sikap anti-Islam. Melalui cara ini, Hollywood ingin menyatukan perasaan pemeran utama dalam filmnya dengan perasaan dan kondisi para audiens.

Dengan demikian, Hollywood memiliki dua teknik yang digunakan untuk menyebarkan Islamphobia. Pertama memanfaatkan legenda dalam alur cerita yang berujung pada lahirnya pahlawan yang membangkitkan simpati para audiens. Dengan memanfaatkan proses transformasi sosok manusia biasa menjadi superhero yang memiliki karakter tipikal kaum hegemoni.

Dengan mengikuti proses tersebut, audiens diajak untuk menyatukan opini dan perspektif dengan para superhero itu. Namun untuk sampai pada tujuan tersebut, diperlukan pondasi realisme sehingga apa yang disaksikan dalam tayangan fantasi dan fiksi itu tampak nyata dan riil. Di sinilah peran teknik kedua tampil, yakni kecenderungan realisme dan pemanfaataan kode atau tanda-tanda yang akan memposisikan audiens di sebuah kondisi penuh gejolak dan mendebarkan, akibat ketidakamanan yang disebabkan ketidakmampuan mereka dalam membedakan antara yang fakta dan kebohongan. Pada tahap selanjutnya, keamanan akan diwujudkan kembali dalam benak audiens dan mereka tidak akan memiliki pilihan lain kecuali meyakini sutradara dan produsen film tersebut.

Para sutradara juga menggiring audiens dengan bantuan struktur legenda yang didirikan di atas pondasi realisme, sehingga audiens akan meyakini bahwa dunia fantasi yang telah ditayangkan dalam film merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat diganggu-gugat. Metode tersebut digunakan dalam berbagai film Hollywood untuk mempersiapkan opini publik dunia dalam menyikapi berbagai politik intelijen dan keamanan Amerika Serikat, serta dalam program imperialisme dalam menyerang Irak dan Afghanistan, juga kehadiran militernya di negara-negara kawasan untuk melawan apa yang disebut Hollywood sebagai musuh besarnya yaitu Islam.

Dewasa ini, Muslim dan Arab telah menjadi topik klise sinema Hollywood. Menurut para pengamat Barat, setelah peristiwa 11 September, Amerika Serikat dengan alasan kelompok teroris berniat mengancam keamanan warga Amerika, negara ini langsung berada dalam kondisi perang. Para kritikus menilai serangan 11 September sebagai awal dari perang baru untuk mewujudkan tujuan-tujuan makro politik Amerika Serikat.

Amerika Serikat menilai serangan 11 September sebagai aksi teror dan langsung mengumumkan perang terhadap terorisme. Kali ini, perang tersebut tidak dikobarkan untuk musuh di satu negara tertentu saja, melainkan sebuah ideologi dan keyakinan, yaitu Islam. Dan untuk memulai perang besar ini, diperlukan lengan propaganda kuat yaitu Hollywood, sebagai pihak yang akan memikul tanggung jawab berat untuk mencitrakan Arab dan Islam berbahaya.

Para kritikus Barat berkeyakinan bahwa guna memuluskan politik imperialisme Amerika Serikat, Hollywood menciptakan alur klise tentang kaum Arab dan Muslim. Terkadang untuk menjustifikasi aksinya itu, Hollywood menambahkan unsur kebebasan sebagai bumbu dalam film produksinya, yang berarti untuk membawa kebebasan atau membebaskan umat Muslim. Selain itu, guna memberikan pengaruh yang lebih besar, lokasi dan tempat-tempat Muslim selalu berusaha dikesankan terbelakang dan tidak maju.

Film Zero Dark Thirty, adalah salah satu film yang tepat untuk mengenal mekanisme kerja Hollywood di sektor Islamphobia. Film itu diproduksi tahun 2012 oleh perusahaan Columbia Pictures. Film menceritakan proses pemburuan seorang kriminal yang paling berbahaya di dunia. Film ini mengisahkan operasi pencarian dan pembunuhan Osama bin Laden, pemimpin al-Qaeda, oleh militer Amerika Serikat. Film ini perlu diperhatikan dari dua sisi. Pertama berniat untuk menunjukkan bagaimana struktur legenda dapat dimanfaatkan di jalur politik Islamphobia Hollywood dalam sebuah film yang berdasarkan alur cerita perjalanan sang pemeran utama.

Film tersebut juga menunjukkan tentang bagaimana proses pembentukan pahlawan Barat dalam prosesnya. Bagaimana penyatuan tujuan dan opini mereka dengan opini dan sikap audiens. Dan pada akhirnya, bagaimana sang pemeran utama dalam film itu dapat berubah menjadi delegasi humanisme Barat. Film tersebut juga menunjukkan kehandalan sinema Hollywood untuk menggandeng audiens bersama-sama memerangi sebuah kekuatan yang terus berkembang yaitu Islam, dan akhirnya mereka menang bersama-sama.

Adapun sisi kedua yang paling menarik dari film ini adalah pemilihan perempuan sebagai pemeran utamanya. Dalam hal ini, Hollywood ingin menggabungkan feminisme dengan konsep-konsep legenda dan kemudian dalam perjalanan cerita mereka menggiring audiens untuk memahami bahwa Islam adalah agama anti-perempuan.

(IRIB-Indonesia/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Minggu, 24 Januari 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Hollywood dan Perannya dalam Perluasan Islamphobia. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/01/hollywood-dan-perannya-dalam-perluasan.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS