Manusia bekerja untuk kepentingannya sendiri, lalu meminta pahala dari Tuhan. Manusia menjual sesuatu milik Tuhan kepada Tuhan lalu mendapatkan ganjaran berlipat dari-Nya dan juga meminjamkan sesuatu milik-Nya kepada-Nya lalu juga mendapatkan pahala berlipat dari-Nya.
Ada perbedaan mendasar antara muamalah (jual beli) yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya dengan muamalah manusia dengan Tuhannya. Dalam muamalah yang dilakukan manusia dengan Tuhannya, manusia sudah pasti untung; sedangkan tidak demikian jika manusia bermuamalah dengan orang lain.
Intinya, saat bermuamalah dengan Tuhannya, manusia bekerja untuk kepentingannya sendiri, lalu meminta pahala dari Tuhan. Manusia menjual sesuatu milik Tuhan kepada Tuhan lalu mendapatkan ganjaran berlipat dari-Nya dan juga meminjamkan sesuatu milik-Nya kepada-Nya lalu juga mendapatkan pahala berlipat dari-Nya.
Dalam beribadah, terkadang manusia diibaratkan sebagai orang yang bermuamalah, yakni bermuamalah dengan Tuhannya. Muamalah ini begitu istimewa, karena pihak kedua dalam muamalah ini adalah Tuhan, bukan manusia. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah membeli sesuatu dari manusia, dari harta dan jiwanya, lalu membayarnya dengan surga.
Keunikan muamalah manusia dengan Tuhannya adalah seperti apapun muamalahnya, manusia sudah pasti untung. Karena Allah swt akan menerima amal hambanya sekecil apapun. Tidak seperti muamalah manusia dengan sesamanya, jika ada aib atau cacat terlihat pada dagangannya, orang lain tidak mau membeilnya atau membelinya dengan harga yang rendah sekali.
Tapi bukan berarti manusi dengan mudahnya tanpa syarat bisa selalu beruntung bermuamalah dengan Tuhannya, karena muamalah itu memang memerlukan satu syarat: keikhlasan. Jika amal perbuatan yang dilakukan tidak murni untuk keridhaan Tuhan (riya’), bagaimana mungkin Ia akan menerima amalnya perbuatannya.
(Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar